Kraton Yogyakarta Di Goyang 8 Pemuda
BERIMBANG COM, Yogyakarta – PASCA pro-kontra keluarnya Sabdatama dan Sabdaraja, masyarakat Yogya dan keluarga besar Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dikejutkan oleh ulah delapan pemuda yang mengatas-namakan dirinya Paguyuban Trah Ki Ageng Giring – Ki Ageng Pemanahan. Tanpa latar belakang yang jelas, mereka menggelar acara pengukuhan Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo, yang tak lain adik dari Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, menjadi Sri Sultan HB XI.
Pengukuhan itu dilaksanakan di petilasan Keraton Ambarketawang Gamping Sleman.
Sontak, adik lain ibu dari Sri Sultan HB X, GBPH Prabukusomo angkat bicara kalau dirinya pun tidak mengetahui acara itu, bahkan merasa diadu-domba denga kakak dan adik-adiknya sekaligus.
Begitu juga Sri Sultan Hamengku Buwono X, enggan menanggapi peristiwa tersebut Sultan mengaku belum mengetahui secara pasti siapa sekelompok itu.
“Itu kan kabeh (semua) mengatas-namakan (Trah). Itu kan menyembunyikan identitas. Ora ngerti aku, saya belum baca, nanti saja kalau saya sudah baca, saya belum tahu,” kata Sultan.
Sultan juga mempetanyakan siapa yang menandatangani pengukuhan tersebut, bahkan meminta media lebih sensitif terhadap isu yang tidak bertanggung-jawab tersebut.
“Saya belum tahu persis, jadi saya belum bisa menanggapi. Dari mana, siapa, aku tidak tahu. Aku tidak tahu, paguyuban kok bisa ngesahke? aku tidak tahu. Ya mungkin dia yang lebih tahu dari pada kita lah, gitu saja,” ucap Sultan.
Dalam pernyataan kelompok itu disebutkan bahwa terjadi kekosongan kekuasaan di Keraton diakibatkan adanya Sabdaraja 30 April lalu. Sabdaraja yang berisi perubahan gelar, dinilai tidak sesuai dengan budaya, paugeran, dan adat istiadat yang berlaku.
Dalam aksinya, sebelum mengukuhkan sosok Sri Sultan HB XI, terlebih dahulu mengukuhkan GBPH Prabukusumo menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamengkunegoro Sudibyo Raja Putra Narendra Mataram, yang merupakan gelar bagi putra mahkota.
Mengubah nama dan gelar Sultan yang berkuasa dari Hamengku Buwono menjadi Kamengku Bawono itu tidak sesuai dengan budaya, paugeran, dan adat istiadat yang berlaku.
Sementara itu GBPH Prabukusumo yang dikukuhkan oleh kelompok tersebut mengatakan tak tahu-menahu adanya paguyuban trah tersebut. Bahkan, para adik dan sentono dalem tidak pernah mengetahui adanya paguyuban trah Ki Ageng Giring dan Pemanahan. “Selama ini tidak ada pembicaraan apapun dari kami para adik semuanya, mengarah pada penggantian Sultan, itu tidak pernah ada. Sentono dalem juga sama sekali tidak mengetahui adanya paguyuban semacam itu,” ungkapnya.
Pengukuhan yang dianggap sah menurut Prabukusumo adalah yang dilakukan melalui rapat keluarga trah HB IX bersama sesepuh Kraton dan seluruh keluarga. “Jadi jikapun ada pengukuhan seperti yang diberitakan maka itu tidak sah,” tegas Gusti Prabu.
Menyikapi persoalan tersebut, sosiolog UGM Prof Dr Sunyoto Usman menilai bahwa telah terjadi pergeseran konflik di internal keluarga kraton, dari konflik kepentingan menjadi konflik identitas.
Memang semua bersumber dari keluarnya sabdaraja dan dhawuhraja terkesan bermotif kekuasaan ditandai dengan diangkatnya putri sulung Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi yang secara otomatis menjadi Putri Mahkota.
Namun kini, konflik lebih mengental pada kelompok-kelompok keluarga keturunan Hamengku Buwono yang sebelumnya pernah bertahta.
Menurutnya, kondisi internal Kraton Yogyakarta sangat heterogen, keluarga-keluarga dari para raja yang pernah bertahta, masing-masing ingin memperjuangkan eksistensinya, karena itu, sangat mungkin konflik tersebut menjadi triger dari munculnya petisi-petisi yang sesungguhnya tidak berhubungan secara langsung.
Menurutnya, upaya yang harus dilakukan untuk meredam konflik agar tidak berlarut-larut adalah dengan menghadirkan penengah yang disepakati oleh keluarga kraton.
Selain itu, keluarga kraton harus menempatkan ‘Paugeran’ yang telah dijadikan sebagai rujukan selama ratusan tahun sebagai spirit (semangat) dalam menyelesaikan konflik.
“Saya kira, baiknya keluarga kraton duduk kembali, dan bisa menahan diri karena Kraton Yogyakarta masih dan tetap menjadi poros panutan masyarakat adat Jawa,” ucap Dr Sunyoto Usman.
Menilik munculnya pengukuhan ‘abal-abal’ itu, Sunyoto menegaskan, bukan tidak mungkin ada pihak lain yang secara sengaja memainkan peran dengan tujuan tertentu. Memang tidak berkaitan langsung dengan tahta raja, tetapi nyatanya pengukuha ‘abal-abal’ tersebut sudah memunculkan banyak komentar.(bs)