Opini

Dewan Pers Berkhayal Menjadi Ditjen PPG-nya Orde Baru

Spread the love

BERIMBANG.com – Surat Cinta Pribadi Kisman Latumakulita Untuk Dewan Pers

Kepada Yth.

DEWAN PERS

di

Jakarta

Dengan Hormat!

Selasa sore 31 Agustus 2021 lalu, saya mendengarkan kembali seluruh isi rekaman pertemuan mediasi melalui zoom antara Dewan Pers dengan Redaksi Majalah FORUM Keadilan. Sebelum mendengarkan hasil rekaman, saya bertanya kepada teman-teman Redaksi Majalah FORUM, yaitu Bang Mochamad Toha, Bang Zainul Arifin Siregar, dan Bung Rimbo Bugis yang ditugaskan Pemimpin Redaksi Majalah FORUM, Bang Luthfi Pattimura untuk ikut pertemuan zoom dengan Dewan Pers.

Pertanyaan saya “mana rekaman visual pertemuan dengan Dewan Pers?” Dijawab oleh Bang Toha, Bang Zainul, dan Bung Rimbo bahwa “dari pihak Majalah FORUM tidak bisa melakukan rekaman bang”. Setiap kali kami mencoba menghidupkan record di Laptop, petunjuk yang keluar adalah tulisan close. Kemungkinan disetel dari Dewan Pers begitu, sehingga Majalah FORUM tidak bisa merekam. Majalah FORUM hanya bisa melakukan rekaman secara audio,” kata bung Rimbo.

Kalau benar kejadiannya seperti itu, maka betapa luar biasa dan hebat juga Dewan Pers kita ini. Saya dapat memahami jawaban dari Bang Toha, Bang Zainul, dan Bung Rimbo. Akhirnya saya memutuskan melanjutkan mendengar seluruh isi rekaman pertemuan zoom tersebut sampai selesai, walaupun hanya melalui rekaman audio.

Selesai mendengar rekaman, langkah pertama yang saya lakukan adalah mengganti foto profil WhatsApp (WA) saya, yang sebelumnya saya mencium tangannya Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono, tokoh purnawirawan TNI yang masih hidup, yang paling saya kagumi hari ini. Saya biasa manggilnya di lapangan golf dengan sebutan “Om Wi”. Dan Om Wi juga memanggil saya dengan sebutam “nyong”, karena Om Wi pernah menjadi Komandan Batalion 731 Kabaressy di Kampung saya Pulau Seram.

Saya ganti foto profil WA saya, yang sebelumnya dengan Om Wi, dengan Almarhum Pak Prof Dr. B.J Habibie, Presiden ketiga. “Bapak Demokrasi Indonesia” yang paling saya kagumi dan banggakan. Semoga Allaah Subhaanahu Wataa’ala mengampuni segala kesalahan Pak Habibie, dan memasukkan Pak Habibie menjadi penghuni syurga bersama para pendahulu bangsa lainnya yang telah memerdekakan bangsa ini. Amin amin amin ya robbal alamin.

Saya mengagumi Pak Habibie, karena kemauannya yang luar biasa untuk melahirkan UU Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers. Pak Habibie menginginkan segala hambatan demokrasi dan kebebasan berpendapat melalui pers, yang dirasakan dominan di era Orde Baru, dikuburkan dari bumi Indonesia. Setiap perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa, tidak perlu diselesaikan dengan pendekatan kekuasaan.

 

Langkah penting pertama yang dilakukan Pak Habibie setelah menjabat presiden adalah membebaskan semua tahanan politik, tanpa melihat kasusnya apa. Langkah berikutnya, Pak Habibie membebaskan pers nasional dari segala belenggu kebobrokan, kebusukan, dan kekerdilan dari lembaga yang puluhan tahun dipakai pemerintah Orde Baru untuk mengontrol pers nasional, yaitu Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembinaan Pers dan Grafika (Dirjen PPG) Departemen Penerangan.

Lembaga superbody Ditjen PPG Departemen Penerangan di eranya Orde Baru tersebut lalu mengingatkan saya kepada nama-nama tokoh penting seperti Pak Ali Moertopo, Pak Harmoko (mantan Menteri Penerangan), Pak Subrata, dan Pak Dr. Janier Sinaga (mantan Dirjen PPG). Semoga saja Allaah Subhaanahu Wata’ala  mengampuni segala kesalahan mereka kepada insan pers Indonesia. Amin amin amin.

 

Pak Habibie tidak sendirian. Peran ada Pak Letjen TNI (Purn.) Yunus Yospiah, tokoh penting lain di balik kemerdekaan pers Indonesia dari belenggu Dirjen PPG Departemen Penerangan. Pak Yunus yang jagoan di medan tempur Timur-Timor, bersama Letjen TNI (Purn.) Theo Syafii dan Letjen TNI (Purn.) Sofian Effendi (ketiganya dari Korps Baret Merah Kopassus) itu menjadi sangat peduli dengan kebebasan pers negeri Indonesia. Pak Yunus yang purnawirawan TNI itu top, hebat, dan mengagumkan.

Berkaitan dengan berbagai perilaku aneh Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers belakangan ini, terutama meteri pertemuan media dengan Redaksi Majalah FORUM Keadilan, maka saya selaku pribadi yang hari ini kebetulan menjadi wartawan Majalah FORUM Keadilan menyampaikan pendapat pribadi (tidak mewakili sikap resmi Majalah FORUM Keadilan) merasa perlu untuk menyampaikan pendapat pribadi.

Saya menduga Dewan Pres dan para Tenaga Ahli Dewan tampaknya sangat dangkal, kerdil dan miskin pemahaman yang terhadap sebab-musabah dibalik lahirnya UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Padahal Pak Habibie dikenal sebagai “Bapaknya Demokrasi Indonesia”. Salah satu pilar terpenting negara demokrasi adalah kebebasan pers. Tidak seperti Ditjen PPG eranya Orde Baru yang buruk, bobrok dan busuk itu.

Dewan Pers sebaiknya tidak berkhayal, tidak berangan-angan, tidak bermimpi atau berprilaku seperti Ditjen PPG Departemen Penerangan. Apalagi Dewan Pers sampai menganggap dirinya lembaga superbody, seperti yang dikemukakan pada rapat zoom dengan Redaksi Majalah FORUM (dari rekaman audio Majalah FORUM). Ko, syahwat berkuasa Dewan Pers menonjol bangat. Masa insan pers mengkhayal kekuasaan?

Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers sebaiknya meluangkan waktu membuka dan membaca lagi peristiwa “Philedevia Contitutional Convention”, yang dimulai 25 Mei 1787 di Philedevia. Ketika itu sebanyak 13 negara bagian menyatakan tidak bersedia berabung dengan American Union, hanya karena masalah kebebasan pers dan Hak Asasi Manusia (HAM) belum dimasukkan dalam konstitusi Amerika.

Empat tahun kemudian, tapatnya tahun 1791, setelah dilakukan amandemen pertama konstitusi Amerika, dimana masalah kebebasan pers dan HAM sudah masuk ke dalam konstitusi Amerika, berulah 13 negara bagian menyatakan diri mau bergabung dengan American Union. Begitu pentingnya soal kebebasan pers tersebut untuk sebuah negara yang menyandang status sebagai “negara demokrasi”.

Sejak kapan ya, Dewan Pers dimandatkan UU Nomor 40 Tahun 1999 menjadi lembaga penyelidikan? Sehingga Dewan Pers bekepentingan untuk melakukan penyelidikan ke data Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) tentang data pribadi wartawan Majalah FORUM, Luqman Ibrahim Soemay? Sebab nama Luqman Ibrahim Soemay telah tercatat dengan sangat jelas sebagai wartawan Majalah FORUM Keadilan di box redaksi.

Apa saja kerugian yang telah, sedang dan akan diderita Dewan Pers, sehingga perlu melakukan penyelidikan ke Dukcapil tentang data pribadi saudara Luqman Ibrahim Soemay? Dulu di eranya Ditjen PPG, sebagian besar wartawan hanya dengan dengan kode angka atau huruf. Tanpa harus menulis nama yang jelas. Misalnya, Kisman Latumakulita kodenya itu “M15”, atau teman saya Mangarahon Dongoran kodenya “D-21”. Toh, Ditjen PPG Orde Baru sekalipun, nggak pernah melakukan pelacakan data pribadi siapa itu wartawan yang berkode M15 dan D-21.

Supaya penyelidikan dan pelacakan Dewan Pers dan Tenaga Ahli Dewan tersebut legal, maka sebaiknya Dewan Pers perlu tambah satu pasal lagi di UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang memberi kewenangan kepada Dewan Pres melakukan penyelidikan tentang data pribadi setiap wartawan. Bisa juga difasilitasi melalui Peraturan atau Keputusan apa saja suka-sukanya Dewan Pers, sehingga bisa leluasa melakukan penyelidikan. Bahkan bisa juga membuka kantor Dukcapil Cabang Khusus Dewan Pers.

Ditjen PPG Departemen Penerangan yang terkenal buruk, bobrok, dan busuk itu, tidak pernah melakukan penyelidikan data pribadi wartawan ke Dukcapil atau lembaga sejenis di era itu. Apa sih kepentingan atau kerugian Dewan Pers, sehingga merasa perlu melakukan penyelidikan ke Dukcapil tentang data pribadi seorang wartawan? Apakah Dewan Pers sebagai pihak merasa sangat dirugikan dengan tulisan Majalah FORUM “Rp 75 Miliar Untuk Komisi XI DPR Hancurkan BPK” tersebut?

Seburuk, sebobrok, dan sebusuk apapaun itu Ditjen PPG Departemen Penerangan, lembaga ini tidak pernah bertanya atau menyelidiki bagaimana proses produksi berita di ruang redaksi. Namun ketika pertemuan zoom dengan Redaksi Majalah FORUM, Dewan Pers merasa perlu bertanya, apakah berita yang diangkat Majalah FORUM dengan judul “Rp 75 Miliar Untuk Komisi XI DPR Hancurkan BPK” itu sudah dibaca belom oleh Pemimpin Redaksi Majalah FORUM? (rekaman audio milik Majalah FORUM)

Pertanyaan yang seperti ini nyata-nyata sangat tidak bermutu, picisan dan amatiran. Pertanyaan seperti hanya keluar dari dugaan kumpulan wartawan salon, wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release. Sebab pasti semua wartawan benaran, pastinya bukan wartawan gadungan, sangat paham kalau semua berita yang sudah naik cetak, pasti sudah dibaca dan sudah diedit oleh semua tingkatan di redaksi. Mulai dari Redaktur, Redaktur Pelaksana dan Pemimpin Redaksi. Masa untuk yang kaya gini saja perlu diajarkan juga kepada Dewan Pers sih?

Substansi masalah yang ditulis Majalah FORUM adalah potensi skandal sejenis seperti yang pernah membuat bangsa ini mengalami musibah politik dan hukum. Ketika itu hampir semua anggota Komisi XI DPR (dulu Komisi IX) yang membidangi Keuangan, Perbankan, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masuk penjara. Penyebabnya terjadi sogok-menyogok atau suap-menyuap dalam kasus Travel Chaque Miranda S. Gultom ketika menjalani fit and proper test sebagai calon Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia di Komisi IX DPR.

Pertanyaannya, kalau terjadi sogok-menyogok lagi di Komisi XI DPR, apakah Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers siap masuk penjara menggantikan anggota Komisi XI DPR? Padahal masalah mendasar yang ditulis Majalah FORUM adalah calon anggota BPK Nyoman Adhi Suryadnyana, pegawai eselon III Kementerian Keuangan yang tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota BPK, karena belum cukup 24 bulan tinggalkan jabatan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau Pejabat Publik Pengelola Keuangan Negara.

Nyoman Adhi Suryadnyana diduga sangat sadar dan paham, bahkan tidak mempunyai ambisi untuk menjadi calon anggota BPK. Namun dalam kenyataannya diloloskan oleh Komisi XI DPR pada seleksi administratif. Padahal sampai Agustus 2021 lalu, Nyoman baru 18 bulan meninggalkan jabatan sebagai KPA, sehingga dianggap melanggar Pasal 13 huruf (j) UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentang BPK.

Mahkamah Agung melalui Fatwa yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. HM. Syarifudin SH. MH, yang pada substansinya sejalan dengan yang ditulis Majalah FORUM. Mahkamah Agung dengan bahasa yang sangat sopan mengingatkan Komisi XI DPR bahwa Nyaman Adhi Suryadnyana tidak memenuhi syarat administratif. Ketentun Pasal 13 huruf (j) UU Nomor 15 Tahun 2006 tersebut mutlak harus dipernuhi Nyoman maupun Harry Soeratin (pejabat eselon II Kementerian  keuangan).

Bunyi faktwa Mahkamah Agung itu “calon anggota BPK yang pernah menjabat di lingkungan pejabat pengelola keuangan negara harus memenuhi syarat pasal 13 huruf (j) UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentag Bedan Pemeriksa Keuangan”. Frasa “harus” dalam fatwa Mahkamah Agung adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon anggota BPK, minimal dua tahun telah meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara.

Anehnya, Dewan Pers atas nama pengaduan dari Kementerian Keuangan, tampil di garda terdepan seperti lawyer Kementerian Keuangan mempersoalkan tulisan Majalah FORUM. Padahal substansinya sangat bermanfaat untuk bangsa dan negara, terutama untuk mencegah potensi terjadinya suap-menyuap atau sogok-menyogok di Komisi XI DPR berkaitan dengan selekasi calon anggota BPK menggantikan Prof Dr. Barullah Akbar. Pertanyaannya, Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers mau berpihak calon anggota BPK yang bagaimana? Yang tidak memenuhi syarat UU atau yang memenuhi syarat UU?

Nyoman Adhi Suryadnyana itu bawahannya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Hanya pegawai eselon III di Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Seorang staf yang nyata-nyata tak memenuhi syarat UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentang BPK. Namun dibiarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti seleksi calon anggota BPK? Apakah Dewan Pers punya kepentingan, atau mau mendukung calon anggota KPK yang tidak memenuhi syarat Pasal 13 haruf (j) UU Nomor 15 Tahun 2006 tersebut?

Saya menduga Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers pura-pura lupa, budeg dan buta bahwa budaya yang hidup subur di lingkungan birokrasi dan perpolitikan kita hari ini adalah “budaya korupsi, sogok-menyogok, suap-menyuap dan bayar-membayar. Budaya yang telah berhasil meluluh-lantakan hampir semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Jangankan mereka yang nyata-nyata tidak memenuhi syarat, mereka yang telah pasti memenuhi syarat saja, bisa melakukan sogok-menyogok. Apalagi yang tidak memenuhi syarat. Peluang terjadinya sogok-menyogok itu besar sekali. Disinilah pentingnya peran pers untuk mencegah terjadinya sogok-menyogok dan suap-menyuap itu. Masa untuk hal yang seperti ini Dewan Pers masih perlu diajarin lagi?

Institusi pers itu oleh universal democration dimandatkan sebagai “the four of state democration”. Tugasnya mengawasi dan mengontrol semua penyelenggara negara yang gajinya dibayar dengan uang dari pajak rakyat, termasuk Dewan Pers. Masa untuk hal yang seperti ini harus diajarkan lagi kepada Dewan Pers dan Tenaga Ahli Dewan Pers yang terkenal hebat-hebat itu? Belajar dimana sih kalian dulu ya?

Untuk menghindari stigma Dewan Pers sebagai dugaan kumpulan mantan wartawan atau wartawan salon yang hanya bisa berlindung di balik ketiak penguasa, karena bisanya menjadi wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release, maka Dewan Pers dan para tenaga ahli Dewan Pers yang dari unsur wartawan sebaiknya ingat kembali pesan pendiri Harian Kompas, P.K Ojong bahwa “tugas pers bukan untuk menjilat penguasa, tetapi untuk mengkritisi yang sedang berkuasa”. Pesan yang hampir sama datang dari Hebert Beuve Mery, pendiri Surat Kabar nomor satu Prancis “Le Monde” pada 19 Desember 1944 bahwa “tugas jurnalis itu untuk membuka-buka apa yang selalu mau ditutupi pemerintah”.

Harusnya Dewan Pers bangga kepada Majalah FORUM Keadilan yang sampai sekarang masih bisa terbit cetak (printing), pada saat banyaknya media cetak sudah gulung tikar (bangkrut) akibat dominannya media online di era digital. Sayangnya, Dewan Pers masih ingin berperilaku layaknya Ditjen PPG Departemen Penerangan, yang sekaligus menjadi penjaga pintu Kementerian Keuangan dari segala gangguan di insan pers.

Saya menduga Dewan Pers dan Tenaga Ahli Dewan dangkal dan minim pemahaman terhadap Pasal 3 ayat 1 dan 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Sebab dengan terbitnya Majalah FORUM, baik fungsi sosial kontrol maupun fungsi ekonomi terwadahi. Ada sekitar 75-100 orang anak bangsa (wartawan, anak dan istri atau suami) numpang makan (hidup) melalui aktivitas Majalah FORUM Keadilan.

Saya bolak-balik baca berkali-kali UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Sayangnya, saya tidak menemukan satu pasal pun di UU Nomor 40 Tahun 1999 yang memberi kewenangan kepada Dewan Pers untuk melakukan verifikasi terhadap perusahaan pers. Anehnya Dewan Pers membuat keputusan sendiri (onani) untuk melakukan verifikasi tanpa mandat dari UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Pasal 15 ayat 2 huruf (g) UU Nomor 40 Tahun 1999 hanya menyatakan Dewan Pers “mendata perusahaan pers”. Hanya mendata saja. Tidak lebih dari itu. Tidak juga disuruh melakukan verifikasi kepada perusahaan pers. Mendata itu tidak sinonim atau memiliki arti yang sama dengan melakukan verifikasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan mendata itu menginput atau melakukan pendataan hal-hal yang berkaitan denga angka-angka dan jumlah.

Mendata itu menginput berapa banyak jumlah perusahaan pers yang menerbitkan surat kabar, berapa jumlah tabloid, berapa jumlah majalah, berapa jumlah televisi, berapa jumlah radio, berapa jumlah media online, dan berapa jumlah wartawan dan karyawan di perusahaan pers yang masih aktif tersebut? Termasuk juga berapa jumlah wartawan salon? Berapa wartawan konfrensi pers? Berapa jumlah wartawan keterangan pers? Berapa jumlah wartawan press release? heheheheheheee

Sedangkan itu verifikasi identik dengan melakukan seleksi. Pertanyaannya, siapa saja panitia seleksinya? Panitia diangkat dengan surat keputusan dari lembaga apa? Hasilnya verifikasi sudah pasti ada yang lolos, namun ada pula yang tidak lolos atau gugur. Sedangkan mendata, pasti semuanya bakal lolos karena tidak ada yang gugur atau tidak lolos.

Kalau untuk hal kecil seperti membedakan antara mendata dan melakukan verifikasi saja, Dewan Pers tidak mampu memahami, apalagi memikirkan hidupnya pers nasional? Apalagi untuk memikirkan upaya-upaya mencegah terjadinya sogok-menyogok atau suap-menyuap di DPR. Apalagi untuk memikirkan tata kelola berbangsa dan bernegara berjalan sesuai dengan cita-cita dan tujuan bernegara?

Saya dalam kapasitas pribadi akan mengusulkan kepada manejemen Majalah FORUM untuk segera melakukan diskusi dengan para ahli hukum di internal Majalah FORUM, ada delapan orang doktor hukum di dewan pakar Majalah FORUM  untuk memikirkan kemungkinan melakukan Judicial Review atas keputusan Dewan Pers yang berkaitan dengan verifikasi perusahaan pers. Karena verifikasi tidak mendapatkan mandat atau perintah setengah pasal pun dari UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Majalah FORUM Keadilan telah diakui negara sebagai media massa nasional resmi, jauh sebelum aturan Dewa Pers tentang verifikasi perusahaan pers ada. Keberadaan Majalah FORUM sudah menjadi pengetahuan umum dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Nomor 265/SK/MENPEN/SIUPP/02/1990 diberikan kepada PT FORUM ADIL MANDIRI. Sejak terbit tahun 1991 sampai sekarang, negara melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), dulu masih Departemen Kehakiman memberikan SERTIFIKAT MEREK Majalah FORUM Keadilan kepada PT FORUM ADIL MANDIRI.

Saya menduga Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers masih berangan-angan, berkhayal menjadi lembaga seperti Ditjen PPG Departemen Penerangan di era Orde Baru. Karena menentukan mana saja perusahaan pers yang masuk katagori terverifikasi atau tidak? Hanya dengan kewenangan melakukan verifikasi itulah, Dewan Pers leluasa mengukuhkan diri sebagai lembaga superbody di insan pers nasional. Bedanya, Ditjen PPG Departemen Penerangan, menjadi lembaga superbody melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sedangkan Dewan Pers menjadi lembaga superbody melalui instrumen verifikasi kepada perusahaan pers. Yaa beda-beda tipis sajalah.

Saya dapat memahami keinginan Dewan Pers dan Tenaga Ahlinya agar tetap menjadi lembaga superbody, karena sebagian orang-orangnya yang dari unsur wartawan diduga para mantan wartawan atau wartawan penikmat kekuasaan pada semua penguasa (wartawan salon), wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release. Bisanya hanya berusaha dan berusaha berlindung di balik ketiak setiap kekuasaan, baik itu sejak era Orde Baru sampai sekarang.

Dewan Pers sebaiknya tidak membuat regulasi yang aneh-aneh. Regulasi yang bisa mempersempit ruang gerak pers nasional. Kalau tidak bisa menolong pers nasional, jangan membuat masalah. Apalagi bangga menjadi lembaga superbody seperti Ditjen PPG Departemen Penerangan. Toh, sampai hari ini Dewan Pers tidak membuat terobosan yang membuat pers nasional dapat hidup secara ekonomi, seperti yang dilakukan oleh Marzuki Usman ketika menjabat Ketua Badan Palaksana Pasar Modal (Bapepam).

Kebijakan Marzuki Usman yang sangat membantu menghidupi pers nasional itu, masih terasa manfaatnya hingga sekarang. Marzuki Usman mewajiban semua perusahan yang go public atau menjual ogligasi di Pasar Modal Indonesia, harus mengumumkan laporan keuangan perusahaan minimal di dua media massa nasional. Sayangnya Dewan Pers hingga kini tidak memberikan penghargaan untuk orang hebat seperti Pak Marzuki Usman dan Pak Yunus Yosfiah.

Berpikir menghargai orang-orang yang telah berjasa kemajuan dan menghidupi pers nasional saja, Dewan Pers tidak mampu. Apalagi memikirkan kehidupan dan kemajuan pers nasional. Fakta ini karena dugaan saya Dewan Pers dan Tenaga Ahli Dewan Pers adalah kumpulan wartawan salon, wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release. Jadi, dapat dipahami kemampuan mereka seperti apa?

Kalau saja Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers bukan dugaan kumpulan wartawan salon, wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release, maka Dewan Pres bisa mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan BPK agar hasil audit tahunan BPK untuk semua institusi negara, baik Kementerian atau Lembaga di Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Kota, BUMN dan BUMD diharuskan diumumkan di 3-5 media massa nasional. Tujuannya agar publik bisa menilai kinerja keuangan setiap institusi negara.

Kalau pengumuman hasil audit tahunan BPK itu wajib diumumkan di media massa nasional bisa, seperti yang dilakukan Pak Marzuki Usman, pasti sangat menolong kehidupan pers nasional. Namun itu bisa terealisasi kalau Dewan Pers punya gagasan untuk memajukan pers nasional. Gagasan yang top markotop seperti itu tidak mungkin muncul dari dugaan kumpulan wartawan salon, wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release.

Mengakhir surat terbuka ini, saya mengajak Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers membuka lagi risalah sidang-sidang penting Badan Persiapan Usaha Kemedekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI), terutama sidang PPKI tanggal 15 dan 16 Juli 1945 tentang rancangan UUD negeri ini. Ketika itu Bung Hatta dan Profesor Soepomo melotarkan gagasan besar bernama “Publieke Opinie”.

Pada sidang yang dihadiri lengkap anggota PPKI inilah, muncul argumen yang menggambarkan kehendak pembentuk UUD 1945 tentang konsep menteri. Saya menaruh hormat kepada semua anggota PPKI, tetapi saya lebih kagum kepada Pak Hatta (anggota PPKI) dan Pak Soepomo (Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945). Saat Pak Soepomo menerangkan draf UUD 1945, Pak Hatta meminta kesempatan bicara. Permintaan Pak Hatta disetujui dan dipersilahkan Pak Radjiman yang menjadi Ketua sidang. Semoga amal baik mereka semua diterima disisi Allah Subhanau Wata’ala.

Pandangan Pak Hatta tentang pentingnya para menteri memahami perasaan umum yang hidup dan berkembang di masyarakat didukung oleh Pak Soepomo. Kata Pak Soepomo, kita harus percaya kebijaksanaan Kepala Negara dan pembantu-pembantunya. Mereka bukan pembantu biasa. Tetapi orang-orang yang sangat terkemuka, dan ahli negara yang bukan saja mengingat “publieke opinie” atau perasaan umum di dalam DPR. Tetapi juga mengerti publieke opinie di dalam masyarakat pada umumnya.

Begitulah pandangan menembus zaman kedua bapak pendiri bangsa yang mempersiapkan UUD 1945. Menteri yang dikehendaki Pak Hatta maupun Pak Soepomo harus yang bisa menyerap, merespon publieke opinie atau perasaan umum masyarakat. Masalahnya bagaimana publieke Opinie  itu diketahui? Harus diketahui siapa? Harus diketahi oleh menteri.

Menteri tidak memiliki kapasitas pribadi atau natural person. Tetapi menteri itu individu dalam makna legal person yang diciptakan UUD 1945. Konsekuensinya, selama orang itu berstatus menteri, maka natural person terserap ke dalam kapasitas sebagai menteri. Status hukumnya sebagai pribadi atau natural person, telah terabsorbsi sepenuhnya ke dalam status sebagai menteri.

Kalau tidak ada orang yang bicara, baik itu melalui pers maupun bukan pers, karena takut dikekang, takut dipenjara, takut dituduh fitnah dan sejenisnya, bagaimana menteri bisa tahu tentang perasaan umum yang dipikirkan Pak Hatta dan Pak Soepomo itu? Pada titik inilah “pandangan Pak Hatta dan Pak Seopomo menjadi penyedia lentera untuk menteri mengetahui publieke opinie atau perasaan umum. Apa saja itu? Hak masyarakat untuk bersuara.

Kata Bung Hatta dalam pertemuan 15 Juli 1945, “hendaklah kita perhatikan syarat-syarat, supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan. Kita bangun masyarakat baru yang berdasar gotong royong dan usaha bersama. Tujuan kita untuk membaharui masyarakat. Jangan kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu, masih ada suatu negara lagi yang bernama kekuasaan”.

Setelah Muh. Yamin bicara dalam nada yang sama, pendangan Pak Hatta dan Pak Soepomo tentang publieke opinie disetujui. Persetujuan itu dicapai tanggal 16 Juli 1945, dan dikristalkan menjadi pasal 28 UUD 1945. Hebat betul bapak-bapak perancang UUD 1945 itu. Mereka tidak licik, tidak picik dan tidak kerdil. Mereka tidak menyediakan teknis, tetapi sarana konstitusi yang memastikan negara setelah terbentuk, tidak menjadi negara penindas, dan negara tiranis terhadap kebebasan dan perbedaan pendapat di masyarakat.

Begitulah cara bapak bangsa mengontrol, dan membuat jaminan negara tidak menjadi negara kekuasaan. Caranya, memberi ruang yang luas kepada warga negara hak untuk bersuara. Hak untuk bicara dan mengkritik penguasa. Dengan hak itu, orang tak takut bicara, karena khawatir akan ditindas, dipenjara dengan tuduhan artificial khas negara kekuasaan yang otoriter.

Masyarakat bicara tentang apa saja? Tentang kehidupan bernegara, bicara postur paling aktual dan nyata dari pemerintah. Bicara presiden dan menteri-menteri yang menjadi pembantunya dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hak untuk bersuara adalah cara para negarawan itu memungkinkan perasaan umum itu terlihat oleh pemerintah, presiden dan menteri-menteri. Sungguh logis dan hebat para pendiri bangsa. Sungguh manis impian para negarawan itu.

Berkelas dan mengagumkan jika Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers mengenal, memahami dan menghidupkan kehendak para pembentuk UUD 1945, sehingga membuat bangsa ini berjalan menemukan jalan terang dan menjemput hari esok yang hebat. Tugas pers itu mengawal, menjaga dan memastikan negara dikelola sesuai cita-cita dan tujuan bernegara. Demokrasi menjadi hebat bila sivil society aktif dan mengkritisi yang sedang berkuasa, tanpa melihat siapa yang berkuasa. Untuk itu, kenali unsur-unsur ganasnya, lalu disingkirkan.

Semoga bermanfaat untuk insan pers negeriku tercinta.

Jakarta 07 September 2021

Hormat saya,

Wartawan Majalah FORUM Keadilan, Kisman Latumakulita.

 

 

Tinggalkan Balasan