Berita Utama

Berita Utama

Wawali Depok , Chandra Rahmansyah Angkat Bicara Tanggapi Isu Miring SPMB Yang Menyeret Namanya

BERIMBANG.com, Depok – Wakil Walikota Depok, Chandra Rahmansyah, angkat bicara menanggapi isu miring seputar Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang menyeret namanya. Dengan tegas, ia membantah adanya praktik jual beli kursi di sekolah negeri dan menyebut kasus yang ramai dibicarakan sebagai murni penipuan oleh oknum yang tidak terkait dengan panitia resmi.

Baca juga : Wakil Wali Kota Depok Siap Mundur Jika Terbukti Ada Praktik Titip Siswa, Komunitas Arema: Jangan Hanya Gertak Sambal!

Chandra Rahmansyah menyatakan bahwa tudingan yang dialamatkan kepadanya adalah hal biasa dalam dinamika politik. Namun, ia menekankan bahwa Pemerintah Kota Depok berkomitmen penuh menjaga integritas SPMB tahun ini.

“Sampai saat ini kita bisa pastikan, tidak ada kursi yang dijual dan tidak ada kursi yang dibeli sampai hari ini. Tidak ada jual beli kursi di sekolah dalam SPMB hari ini di kota Depok,” tegas Chandra di hadapan awak media.

Menurutnya, kasus “tangkap tangan” yang terjadi justru menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam memberantas praktik lancung. Ia mengungkapkan bahwa penangkapan tersebut dikoordinasikan langsung dengannya dan Walikota.

“Penangkapan OTT tersebut itulah bukti pemerintah mampu mencegah bahwa PPDB atau SPMB tahun ini bersih, clear and clean,” ujarnya. “Yang terduga pelaku itu kan bukan panitia SPMB. Bukan bagian dari panitia, bukan kepala sekolah, bukan operator.”

Dugaan Penipuan, Bukan Jual Beli Kursi

Chandra meluruskan bahwa kasus yang terjadi lebih kuat mengarah pada unsur penipuan. Seorang oknum guru dari Mekarjaya diduga menipu orang tua murid dengan menjanjikan kursi di salah satu SMP Negeri dengan imbalan uang sebesar Rp 7,5 juta.

“Jadi kasus ini masuk ranahnya kalau saya sih dugaan penipuan ya. Dia menipu si orang tua murid itu, yang nggak ada kaitannya dengan panitia SPMB,” jelasnya.

Ia mengapresiasi komitmen Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok yang menjalankan arahan Walikota untuk tidak memberi ruang bagi praktik titip-menitip siswa.

Tantang Pihak yang Meminta Mundur

Menanggapi desakan agar dirinya mundur dari jabatan, Chandra Rahmansyah melontarkan tantangan terbuka. Ia meminta pihak-pihak yang menyuarakan hal tersebut untuk menemuinya secara langsung, alih-alih menyebar informasi yang memutarbalikkan fakta di media.

“Siapapun orangnya yang berteriak-teriak bahwa mundur wakil wali kota, suruh menghadap beliau (merujuk pada dirinya sendiri). Buka 24 jam,” tantangnya. “Ngobrol saja. Bukan dengan cara muter balikan fakta, membuat seolah-olah membodohi masyarakat dengan informasi-informasi yang tidak benar.”

Ia menegaskan bahwa jabatan adalah amanah dan dirinya tidak gila jabatan.

“Jabatan itu titipan dari Allah. Jangan dipikir, saya ini orang gila jabatan,” tambahnya.

Komitmen pada Keadilan Sosial dan Pancasila

Lebih jauh, Chandra mengaitkan upaya mewujudkan SPMB yang bersih dengan implementasi nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya, pemerataan akses pendidikan adalah salah satu wujud kesetiaan pada Pancasila dan UUD 1945.

“Pihak yang tidak mendukung ini, saya duga juga pihak yang anti-Pancasila berarti,” cetusnya. “Mari sama-sama kita buktikan bahwa kita setia kepada Pancasila dengan menciptakan akses yang seadil-adilnya kepada seluruh anak-anak kita di kota Depok, khususnya lewat momentum SPMB ini.”

Ia juga mengingatkan kembali program Walikota untuk menyiapkan rintisan sekolah gratis agar tidak ada lagi anak di Depok yang putus sekolah karena kendala biaya.

iik

Berita Utama

Titipan Siswa Terbongkar: Di Mana Janji Mundur Chandra Rahmansyah?

BERIMBANG com, Depok — Angin segar perubahan yang dijanjikan Wakil Wali Kota Depok, Chandra Rahmansyah, kini tengah diuji. Dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial, Chandra dengan lantang menyatakan komitmennya: akan mundur dari jabatannya jika masih ditemukan praktik jual-beli bangku sekolah di Kota Depok. Namun fakta terbaru menunjukkan, kenyataan tak semanis janji kampanye.

Baca juga: Wakil Wali Kota Depok Siap Mundur Jika Terbukti Ada Praktik Titip Siswa, Komunitas Arema: Jangan Hanya Gertak Sambal!

“Pegang ini janji saya. Kalau nanti setelah kami dilantik masih ada praktik jual beli bangku sekolah di Kota Depok, maka saya orang pertama yang akan mengundurkan diri,” tegas Chandra dalam video yang diunggah melalui laman Facebook seorang warga.

Namun, belum genap setahun masa jabatannya berjalan, praktik busuk itu kembali terungkap. Seorang oknum guru di salah satu SMP Negeri di Depok terbukti terlibat dalam praktik “titip-menitip siswa” dan langsung dijatuhi sanksi administratif oleh Dinas Pendidikan Kota Depok. Meski baru satu kasus yang terungkap secara resmi, publik bertanya: apakah ini hanya puncak gunung es dari sistem bobrok yang dibiarkan berlarut-larut?

Pernyataan Chandra yang dulu menuai pujian, kini berubah menjadi bumerang. Janji itu kembali diputar masyarakat, bukan untuk mengenang, tapi untuk menagih konsistensi.

Anton Sujarwo, Pembina Komunitas Arek Malang (Arema), ikut bersuara lantang. Baginya, janji pengunduran diri itu bukan sekadar omong kosong yang bisa dihapus begitu saja oleh waktu dan jabatan.

“Saya mengapresiasi keberanian Chandra. Tapi jangan sampai itu hanya jadi gertak sambal. Kalau memang terbukti ada praktik titip siswa dan jual-beli bangku, ia harus menepati ucapannya,” tegas Anton kepada Berimbang.com, Rabu (26/6).

Lebih jauh, Anton menyebut praktik ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi sebuah kejahatan moral dan sosial dalam dunia pendidikan.

“Rakyat kecil yang tak punya koneksi harus bersaing secara sehat, sementara bangku sekolah diperjualbelikan bak komoditas. Ini bukan hanya soal moral pejabat, tapi soal keadilan sosial,” ujarnya.

Pemerintah Kota Depok sendiri melalui Dinas Pendidikan menyatakan tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem Penerimaan Siswa Baru (SPMB), dan memperketat pengawasan di tingkat sekolah. Tapi publik tak lagi cukup dengan janji normatif.

Yang kini ditunggu masyarakat bukan sekadar evaluasi, tapi tindakan nyata. Jika benar Chandra Rahmansyah memegang prinsip sebagaimana yang ia ucapkan, maka mundur dari jabatan adalah bentuk tanggung jawab, bukan kekalahan.

Lalu, kapan janji itu ditepati?

Atau apakah kata-kata dalam video itu hanya akan menjadi catatan viral tanpa konsekuensi, seperti janji-janji lainnya yang tenggelam dalam riuhnya politik kota?

iik

Berita Utama

Kemacetan Sawangan Kian Brutal, Pemerintah Daerah Dinilai Lamban Tangani Ledakan Mobilitas

Depok, Berimbang.com — Kemacetan di Jalan Raya Sawangan, Kota Depok, kian menggila terutama saat akhir pekan. Warga menyebut kondisi ini bukan sekadar macet rutin, tetapi telah berubah menjadi mimpi buruk berkepanjangan yang tak kunjung disentuh solusi nyata oleh pemerintah.

Barbot (48), seorang warga sekaligus pengendara motor, menggambarkan kemacetan Sawangan sebagai “siksaan panjang yang dimulai sejak Jumat sore hingga malam Minggu”. Menurutnya, arus kendaraan meningkat tajam setiap akhir pekan karena tingginya mobilitas warga menuju kawasan wisata dan pusat perbelanjaan.

“Kalau hari kerja, masih bisa terurai. Tapi Sabtu-Minggu dari jam 9 pagi sampai 10 malam jalanan padat terus. Rasanya kayak terjebak di kota mati,” keluh Barbot saat ditemui di lokasi, Senin (16/6/2025).

Keluhan senada datang dari Jafar (42), pengemudi asal Bojongsari, yang harus menghabiskan hingga dua jam hanya untuk mencapai Simpang Parung Bingung.

“Antrean ke tol Depok-Antasari jadi biang macet. Begitu masuk tol, lancar. Tapi sebelum itu, semua kendaraan tersendat parah,” ujarnya.

Infrastruktur Tak Berkutik di Tengah Ledakan Hunian

Para warga menyoroti ketimpangan antara pertumbuhan kawasan hunian dengan pelebaran jalan yang stagnan selama lebih dari satu dekade. Dengan makin banyaknya perumahan baru dan akses menuju tol, volume kendaraan tumbuh liar sementara lebar jalan tetap sempit dan tidak manusiawi.

“Bayangkan saja, hunian terus dibangun tiap tahun, tapi lebar jalan tetap kayak 2010. Gimana enggak meledak macetnya?” kata Barbot geram.

Di Mana Pemerintah?

Warga mempertanyakan peran Pemerintah Kota Depok maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang seolah abai terhadap perencanaan transportasi jangka panjang. Tidak tampak upaya serius dalam bentuk pelebaran jalan, pembuatan jalur alternatif, atau pembatasan pembangunan kawasan hunian yang sudah jenuh.

“Pemerintah terkesan sibuk menjual izin proyek perumahan, tapi melupakan dampaknya ke lalu lintas. Kami yang jadi korban setiap akhir pekan,” kritik Jafar.

Kemacetan yang terus memburuk ini juga membawa dampak ekonomi dan sosial, dari bahan bakar yang terbuang, hingga stres dan penurunan produktivitas masyarakat.

Solusi Masih di Atas Kertas

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari Dinas Perhubungan Kota Depok maupun pemerintah provinsi terkait rencana penanganan konkret di kawasan Sawangan. Warga berharap masalah ini tidak lagi dianggap sebagai “konsekuensi urbanisasi” belaka, melainkan sebagai krisis infrastruktur yang harus segera ditangani.

iik

Berita Utama

Kinerja 100 Hari Supian-Chandra Disorot, Warga Depok Tagih Janji Kampanye: “Bebas Banjir, Bebas Macet, Mana Buktinya?”

BERIMBANG.com, Depok – Genap 100 hari Wali Kota Supian Suri dan Wakil Wali Kota Chandra Rahmansyah menjabat, publik mulai angkat suara. Survei terbaru dari Lembaga Studi Visi Nusantara menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat Depok terhadap kepemimpinan keduanya hanya berada di angka 39,05 persen. Artinya, mayoritas warga—sebesar 60,95 persen—masih belum puas dengan arah pemerintahan saat ini.

Sorotan paling tajam datang dari sektor ketenagakerjaan. Sebanyak 91 persen responden menilai tidak ada perubahan berarti dalam penyediaan lapangan kerja. Janji-janji kampanye tentang penciptaan pekerjaan dinilai belum nyata di lapangan.

Tak hanya itu, tata kelola pemerintahan dan keterbukaan informasi turut dikritik. 72,62 persen warga merasa pemerintahan belum bersih dan akuntabel, sementara 64,62 persen menilai akses terhadap informasi publik masih minim.

Ketua DPD Golkar Depok: Warga Tak Mau Lagi Dibodohi dengan Janji

Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat sekaligus Ketua DPD Golkar Kota Depok, Farabi El Fouz Arafiq, angkat bicara tegas. Ia menilai janji kampanye bukan hanya slogan politis, tetapi kontrak moral antara pemimpin dan rakyat.

“Bisa kita lihat, warga menginginkan bebas banjir, bebas macet, dan bebas biaya sekolah, baik di SD negeri maupun swasta. Itu semua adalah janji wali kota dan wakilnya. Tapi realisasinya? Apakah ini 50 persen bebas atau 100 persen bebas?” ujar Farabi saat ditemui dalam acara Idul Adha di Kantor DPD Golkar Depok.

Farabi juga mengingatkan bahwa masyarakat kini tak hanya menilai proses, tapi juga menuntut hasil. Pelayanan publik yang nyata dan menyentuh kehidupan sehari-hari adalah ukuran keberhasilan, bukan sekadar narasi pembangunan.

“Kewenangan hukum dan wawasan harus dijalankan. Semuanya harus bergerak demi kepentingan masyarakat. Silakan semua program dijalankan, tapi pengawasan DPRD wajib diperkuat agar arah pembangunan tak melenceng,” tegasnya.

Kini, bola panas ada di tangan Supian-Chandra. Dalam situasi kepercayaan publik yang mulai goyah, mampukah mereka bergerak cepat dan mengembalikan harapan warga? Ataukah 100 hari pertama ini hanya menjadi awal dari kekecewaan panjang?

iik

Berita Utama

DPRD Depok Desak Tindakan Tegas atas Pungli Bangunan Liar di Jalan Juanda

BERIMBANG.com, Depok — Anggota DPRD Kota Depok dari Fraksi PKS, Bambang Sutopo, menegaskan bahwa praktik pungutan liar (pungli) terkait bangunan liar di sepanjang Jalan Juanda merupakan bentuk korupsi yang harus dihentikan dan diusut tuntas.

Baca juga: Fakta Mengejutkan Terungkap: Dugaan Pungli di Lahan Pertagas dan Tol Cijago, Kwitansi Berstempel K3D Jadi Sorotan

Ia menyatakan bahwa pungli merusak tata ruang kota dan mencederai kepercayaan publik. “Pungli bukan sekadar pelanggaran administrasi, tapi tindakan koruptif yang merugikan masyarakat,” ujar Bambang, Senin (9/6).

Bambang mendorong:

Pembentukan tim pengawasan terpadu dari Satpol PP, Dinas PUPR, DLH, dan aparat kepolisian.

Audit menyeluruh terhadap dana dan retribusi di kawasan Juanda.

Pelaporan publik yang aman melalui hotline dan sistem daring.

Kampanye publik seperti #StopPungliJuanda dan edukasi di forum warga.

Sebagai langkah jangka panjang, DPRD mengusulkan penataan ulang kawasan Juanda, termasuk trotoar, ruang publik, dan bangunan, dengan pengawasan legislatif yang lebih ketat.

“Kami ingin penegakan perda bersifat proaktif demi tata kota yang berkelanjutan dan bersih dari pungli,” pungkas HBS, sapaan akrabnya.**

Berita Utama

Fakta Mengejutkan Terungkap: Dugaan Pungli di Lahan Pertagas dan Tol Cijago, Kwitansi Berstempel K3D Jadi Sorotan

Keterangan Foto : Suasana Audensi pedagang jalan Juanda raya di Markas KODIM Depok. 3/6/25. ( Foto : Ist).

BERIMBANG.com, Depok – Fakta mengejutkan mencuat dalam audiensi antara para pedagang dan pelaku usaha yang memanfaatkan lahan di Jalan Juanda Raya dan lahan Pertagas, dengan sejumlah instansi pemerintah dan aparat penegak hukum. Pertemuan yang digelar oleh Kodim 0508/Depok di Makodim Depok, Selasa (3/6), memunculkan dugaan praktik pungutan liar (pungli) berkedok sewa lahan yang melibatkan oknum pengurus Komunitas Kampung Kita Depok (K3D).

Baca juga: Puluhan Bangunan Liar di Lahan Pertamina Depok Disewakan Oknum K3D, Pemkot Dinilai Tutup Mata

Dalam audiensi yang turut dihadiri pemilik usaha kambing, bengkel mobil, rumah makan, hingga kafe live musik, terungkap bahwa sejumlah pelaku usaha diminta membayar uang sewa kepada oknum K3D, dengan nominal mencapai Rp80 juta. Bukti berupa kwitansi berstempel K3D dan ditandatangani Ketua K3D berinisial HF pun ditunjukkan.

Salah seorang pengusaha bengkel, Aris, mengaku menyetor Rp80 juta kepada seseorang bernama Haris yang mengaku sebagai bagian dari K3D. Uang tersebut disebut berasal dari atasannya, Nugroho, pemilik Bengkel Auto Raja. Tujuannya agar usaha mereka tidak digusur dari lahan milik negara yang mereka tempati.

“Iya, saya bayar Rp80 juta ke Pak Haris dari K3D,” ujar Aris dalam rekaman video yang diputar saat audiensi.

Menanggapi hal ini, perwakilan dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Depok, Richard, menyatakan bahwa dari sisi hukum, kasus ini telah memenuhi unsur tindak pidana. “Kalau kita lihat secara kasat mata, sudah ada peristiwa hukumnya. Tinggal apakah korbannya bersedia melapor atau tidak,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua K3D berinisial HF saat dikonfirmasi wartawan, tak membantah peranannya. Namun ia mengklaim hanya menjalankan perintah dari pihak tertentu. “Saya hanya menjalankan tugas, disuruh menagih saja. Uangnya saya setorkan. Kalau nanti saya dipanggil Pertamina Gas, Kodim, dan Pj Sekda, akan saya ungkap siapa yang menyuruh saya,” tegasnya.

Audiensi ini turut dihadiri perwakilan dari Polres Metro Depok, Satpol PP, dan sejumlah instansi lainnya. Dugaan praktik pungli yang terorganisir ini kini menunggu tindak lanjut aparat penegak hukum dan menjadi sorotan masyarakat Kota Depok.**

Berita Utama

Puluhan Bangunan Liar di Lahan Pertamina Depok Disewakan Oknum K3D, Pemkot Dinilai Tutup Mata

Depok, Berimbang.com — Pemerintah Kota Depok dinilai sengaja menutup mata terhadap maraknya bangunan liar yang berdiri di atas lahan pipa gas milik Pertamina Gas di kawasan Jalan Juanda, Kota Depok, Jawa Barat. Bangunan-bangunan liar tersebut diduga disewakan oleh oknum pengurus Komunitas Kampung Kita Depok (K3D) kepada sejumlah pihak dengan harga sewa mencapai ratusan juta rupiah.

Pengamat kota Depok, Juli Efendi, mengungkapkan bahwa keberadaan bangunan liar di atas lahan strategis milik Pertamina Gas ini kian bertambah setelah sebelumnya dilakukan penggusuran terhadap bangunan liar di lahan milik Kementerian Agama (Kemenag) — lokasi yang kini telah menjadi Kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

“Saat ini bermunculan puluhan bangunan liar di seberang Kampus UIII, tepatnya di lahan milik Pertamina Gas. Di sana berdiri lapak penjualan kambing, bengkel, rumah makan, cucian mobil, hingga kafe live musik,” ujar Juli Efendi kepada Berimbang.com, Minggu (8/6/2025).

Informasi yang diperoleh Berimbang.com menyebutkan bahwa pemanfaatan lahan tersebut dilakukan dengan sistem sewa menyewa yang diduga tidak resmi. Sejumlah pemilik bangunan mengaku telah membayar sewa kepada oknum K3D dengan nilai bervariasi, mulai dari Rp10 juta hingga Rp100 juta. Bahkan, bukti pembayaran disertai kwitansi berstempel K3D dan ditandatangani oleh Ketua K3D berinisial HF.

Seorang pemilik rumah makan, yang enggan disebutkan namanya, mengaku telah membayar Rp10 juta sebagai uang sewa kepada HF dan seorang lainnya berinisial JL. Namun, belakangan ia menolak permintaan pembayaran lanjutan setelah mendengar kabar penggusuran.

“Kalau benar mau digusur, saya minta uang saya dikembalikan. Dulu dijanjikan sewa aman untuk satu tahun,” ujarnya.

Pihak Pertamina Gas sendiri disebut telah merencanakan penertiban terhadap bangunan-bangunan liar tersebut. Sosialisasi penggusuran bahkan telah dilakukan dengan dukungan Kodim Depok. Langkah ini diambil karena lokasi tersebut berada di jalur pipa gas aktif yang tergolong kawasan berbahaya.

Menanggapi tudingan tersebut, HF saat dikonfirmasi tak membantah telah menyewakan lahan pipa gas dan lahan kosong di dekat Tol Cijago. Namun, HF mengklaim bahwa dirinya hanya menjalankan perintah.

“Saya hanya menjalankan tugas. Saya hanya diminta untuk menagih. Uangnya juga saya setorkan. Kalau saya dipanggil pihak Pertamina, Kodim, atau Pemkot Depok, saya siap ungkap siapa yang menyuruh saya,” ujar HF dengan nada serius.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari Pemerintah Kota Depok maupun Pertamina Gas terkait persoalan ini. Publik kini menanti sikap tegas dari aparat dan pihak berwenang atas dugaan penyalahgunaan lahan negara serta dugaan praktik pungutan liar oleh oknum tertentu.**

Berita Utama

Letkol TD Diduga Tipu Warga sipil senilai 1 Millyar Dengan Tawaran Proyek di Kemenhan

Keterangan Foto : Tuti Amelia didampingi Kuasa Hukum Edi Prastio,S.H.,M.H Datangi Satuan Polisi Militer AU Halim Perdanakusuma Untuk Cari Keadilan (Ist)

BERIMBANG.com, Jakarta – Seorang perempuan warga sipil , Tuti Amaliah resmi melaporkan seorang oknum anggota TNI AU berinisial TD Berpangkat Letnan Kolonel ke Polisi Militer AU. Ia mengaku mengalami kerugian hingga Rp1 miliar setelah dijanjikan akan dilibatkan dalam sejumlah proyek pengadaan barang.

Dalam keterangannya kepada penyidik Polisi Militer di Halim, pelapor menyatakan bahwa dirinya telah menyerahkan uang lebih dari Rp800 juta kepada oknum tersebut sejak tahun 2021. Dana tersebut, menurutnya, merupakan bagian dari janji kerja sama proyek seperti pengadaan AC dan alat kesehatan di Rumah Sakit Suyoto dibawah naungan Kementerian Pertahanan..

“Awalnya saya dikenalkan ke petinggi-petinggi yang katanya berwenang, dan dari situ mulai dimintai dana koordinasi,” ungkap Tuti melalui sambungan seluler belum lama ini.

Tidak hanya uang tunai, pelapor juga mengaku memberikan fasilitas berupa kendaraan operasional kepada oknum tersebut. Namun janji-janji proyek tak kunjung direalisasikan.

“Sudah saya kasih cash, transfer juga ada, bahkan ada saksi. Tapi janji mobil Pajero pun tidak ditepati,” lanjutnya.

Yang memperburuk keadaan, menurut pelapor, adalah sikap oknum tersebut yang mulai menghindar dan memutus komunikasi. Meski telah dibuat surat kesepakatan, namun pelapor merasa tidak ada itikad baik dari terlapor.

“Saya hanya ingin keadilan. Dari 2021 saya sudah coba kejar, tapi sampai sekarang belum ada penyelesaian. HP saya diblokir, saya bahkan diarahkan ke pengacara, padahal saya ingin langsung komunikasi,” tegasnya.

Laporan tersebut kini telah tercatat secara resmi di Polisi Militer. Pelapor berharap kasus ini bisa diproses hukum dengan adil agar tidak ada korban lain di kemudian hari.

“Saya berharap uang saya kembali dan proses hukum tetap berjalan. Biar tidak ada lagi yang tertipu,” tutupnya.

 

Efendi

Berita Utama

Jam Malam Pelajar di Depok Resmi Berlaku, Efektif atau Menekan Kebebasan?

BERIMBANG.com, Depok – Pemerintah Kota Depok resmi memberlakukan kebijakan jam malam khusus untuk pelajar yang melarang anak-anak berada di luar rumah setelah pukul 21.00 WIB tanpa didampingi orang tua. Kebijakan ini merupakan inisiatif dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, sebagai langkah preventif untuk menjaga keamanan pelajar dari potensi kejahatan malam hari.

Namun, kebijakan ini memunculkan pro dan kontra dari kalangan pelajar, orang tua, dan masyarakat umum.

Sejumlah pelajar menyatakan dukungan terhadap kebijakan ini. Dara, siswi kelas XI, menilai larangan ini penting di tengah maraknya kejahatan malam hari. Meski demikian, ia berharap ada kelonggaran hingga pukul 22.00 WIB.

“Saya setuju karena memang malam itu rawan kejahatan. Tapi mungkin bisa ada toleransi kalau kita sudah di luar dan hanya ingin pulang,” ujarnya.

Senada dengan itu, Nindi, siswi kelas X, menyebut aturan ini membantu pelajar tetap aman.

“Ibu saya galak, jadi saya memang jarang keluar malam. Kalau ada jam malam, justru bikin lebih nyaman,” katanya.

Dita, pelajar lainnya, mengaku lebih memilih malam diisi dengan aktivitas keluarga seperti menonton dan berbincang bersama orang tua.

“Ngemil dan nonton bareng keluarga lebih seru daripada nongkrong enggak jelas di luar,” tambahnya.

Namun tak sedikit pula pelajar yang mengaku keberatan. Bagi mereka, jam malam bisa dianggap membatasi kebebasan berekspresi dan bersosialisasi.

Lulu, siswi kelas XII, menyoroti generalisasi negatif terhadap remaja yang keluar malam.

“Kita nongkrong bukan berarti negatif. Harusnya jangan semua disamaratakan. Kalau semua kafe sepi, UMKM juga kena dampak,” ujarnya.

Gara, siswa kelas IX, bahkan mengatakan bahwa waktu malam adalah saat yang paling menyenangkan untuk melepas penat usai belajar.

“Biasanya jam 21.00 baru mulai nongkrong. Kalau setiap malam dilarang, berat juga sih. Mungkin bisa dikecualikan untuk malam minggu,” katanya.

Damar, pelajar lainnya, meminta agar ada syarat yang lebih fleksibel.

“Kalau hanya imbauan tanpa sanksi, pasti enggak akan efektif. Tapi kalau dijalankan bijak, bisa jalan,” ungkapnya.

Samuel, pelajar lain, memberikan pandangan lebih moderat. Ia menyebut bahwa jam malam bisa efektif jika diterapkan secara fleksibel dan disertai komunikasi yang baik.

“Larangan jam malam bisa menjaga keamanan, tapi harus masuk akal. Kalau terlalu ketat, remaja bisa jadi kucing-kucingan,” katanya.

Kebijakan ini menuai beragam tanggapan. Meski tujuannya menjaga keselamatan, pemerintah ditantang untuk menerapkan aturan ini secara bijak dan realistis, dengan memperhatikan faktor psikologis, sosial, serta dampak ekonomi.

Jam malam pelajar bisa efektif, namun hanya jika disertai dengan pengawasan yang konsisten, sosialisasi yang inklusif, dan ruang dialog antara pemerintah, pelajar, dan orang tua.

Efendi

Berita Utama

Divonis 5 Tahun Penjara, Pengelola TPS Liar di Depok Ajukan Banding

Depok | Berimbangcom – Jayadi (58), pengelola tempat pembuangan sampah (TPS) ilegal di Kecamatan Limo, Kota Depok, resmi divonis lima tahun penjara dan denda sebesar Rp3 miliar oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok pada Senin (2/6/2025). Vonis tersebut dijatuhkan atas kasus pencemaran lingkungan akibat aktivitas TPS liar yang dikelolanya selama bertahun-tahun.

Baca juga:“Sampah Menumpuk, Warga Frustrasi: Mantan DPRD Depok Kritik Keras Ketidakpedulian Pemkot”

Putusan ini lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya meminta pidana enam tahun penjara dan denda serupa. Kendati begitu, Jayadi langsung menyatakan banding usai mendengar vonis.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Jayadi dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp3 miliar, subsider 3 bulan kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim dalam persidangan.

Dalam persidangan, Jayadi tampak hadir mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Saat ditanya apakah ia telah berkonsultasi dengan penasihat hukum sebelum menyatakan banding, Jayadi menjawab singkat bahwa ia belum sempat melakukannya. Namun, usai sidang, ia mengarahkan wartawan untuk bertanya langsung kepada kuasa hukumnya.

“Ke kuasa hukum, ke kuasa hukum,” ujar Jayadi sambil berlalu meninggalkan ruang sidang.

Kasus ini mencuat setelah inspeksi mendadak oleh Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, yang menemukan bahwa TPS seluas 1,9 hektare itu telah beroperasi tanpa izin selama lebih dari satu dekade. Aktivitas pembuangan sampah di lokasi tersebut ditengarai merusak lingkungan dan berdampak buruk pada warga sekitar.

“Ini bukan hanya soal administrasi, tapi soal tanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat,” ujar juru bicara Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup.

Warga sekitar lokasi TPS liar memberikan beragam tanggapan. Sebagian menyambut baik penindakan hukum ini sebagai bentuk perlindungan terhadap lingkungan. Namun, ada pula yang menyayangkan bahwa penindakan baru dilakukan setelah sekian lama aktivitas berlangsung.

“Sebenarnya warga sudah lama resah, tapi baru sekarang direspons serius. Kami berharap ini jadi pelajaran bagi pengelola lainnya,” kata Darto, salah satu warga RW dekat lokasi TPS.

Kasus Jayadi menambah daftar panjang pelanggaran pengelolaan sampah di kawasan penyangga Ibu Kota. Pemerintah diharapkan tak hanya menindak pelaku, tapi juga memperkuat sistem pengelolaan sampah legal yang mudah diakses warga dan pelaku usaha kecil.

Sementara proses banding tengah diajukan, masyarakat dan pegiat lingkungan menantikan apakah kasus ini benar-benar memberi efek jera atau justru menjadi momentum untuk membenahi kebijakan tata kelola sampah secara menyeluruh.

Efendi