Lowongan Sekda Depok dan Ilusi Transparansi Birokrasi”
Oleh : Juli Efendi
BERIMBANG.com, Depok – Pemerintah Kota Depok baru saja membuka seleksi terbuka untuk jabatan strategis Sekretaris Daerah (Sekda). Di atas kertas, ini adalah bagian dari komitmen terhadap reformasi birokrasi dan profesionalisme aparatur sipil negara. Namun, jika dicermati lebih dalam, pengumuman ini justru mengundang banyak tanda tanya: benarkah seleksi ini murni terbuka dan kompetitif, atau hanya menjadi ajang formalitas untuk melegitimasi calon tertentu yang telah “disiapkan” sejak awal?
Pada hari pertama pembukaan seleksi, tak satu pun pendaftar yang masuk. Ini bukan sekadar masalah waktu atau kesiapan dokumen para kandidat. Ini gejala yang bisa dibaca sebagai sinyal kuat ketidakpercayaan terhadap proses itu sendiri. Jika benar proses ini terbuka dan adil, mengapa tak ada antusiasme? Apakah karena para ASN senior sudah mafhum siapa yang akan dipilih? Ataukah karena syarat-syarat yang ditetapkan begitu eksklusif sehingga menutup peluang bagi banyak ASN kompeten dari luar lingkaran kekuasaan?
Syarat seperti pangkat minimal IV/b, pengalaman dua tahun di jabatan Eselon IIb, serta sederet dokumen teknis yang harus dipenuhi—dari LHKPN hingga surat rekomendasi PPK—seolah menjadi benteng administratif yang sulit ditembus. Ini menciptakan kesan bahwa hanya segelintir orang yang bisa masuk dalam radar seleksi. Bahkan beberapa pihak bisa menilai, persyaratan ini sengaja disusun agar sesuai dengan profil calon tertentu yang sudah “dipesan”.
Lebih ironis lagi, proses seleksi ini dilakukan di tengah publik yang semakin skeptis terhadap birokrasi daerah yang cenderung elitis dan eksklusif. Di banyak tempat, termasuk Depok, jabatan Sekda bukan hanya posisi administratif, tetapi juga posisi strategis yang menentukan arah kebijakan pemerintah kota. Jika yang terpilih hanyalah “orang dalam” atau mereka yang sekadar loyal pada wali kota, maka yang dikorbankan adalah profesionalisme, integritas, dan yang paling penting: kepentingan publik.
Harus diakui, proses seleksi jabatan tinggi kerap hanya menjadi formalitas hukum belaka. Digelar terbuka, diumumkan di media, disertai syarat teknis yang lengkap, namun pada akhirnya hanya menjadi dekorasi demokrasi di atas panggung kekuasaan yang sudah ditentukan arahnya. Tidak sedikit kasus di mana panitia seleksi hanyalah stempel legalitas, bukan penjaga objektivitas.
Kita tidak sedang menuduh, tetapi publik berhak curiga. Karena kepercayaan pada proses pemerintahan tidak dibangun dengan kata-kata, melainkan dengan transparansi dan integritas nyata. Jika Pemerintah Kota Depok benar-benar ingin membangun tata kelola yang bersih dan meritokratis, maka sudah saatnya membuktikan bahwa jabatan Sekda ini memang diperebutkan secara sehat, bukan dibagikan secara diam-diam.
Tanpa itu, pengumuman ini hanya akan menjadi bagian dari rutinitas birokrasi yang kehilangan makna. Reformasi birokrasi hanyalah ilusi, dan publik hanya akan menjadi penonton dari panggung yang naskahnya sudah ditulis jauh sebelum audisi dimulai.