CSR Bank Sentral Mengalir Ke DPR : Amal atau Alat Bancakan?

Spread the love

Editorial Berimbangcom

Kasus yang menjerat Politikus NasDem, Satori, kembali membuka borok lama: betapa mudahnya dana corporate social responsibility (CSR) dipelintir jadi bancakan politik. Kali ini, bukan perusahaan swasta yang jadi sorotan, melainkan dua institusi strategis negara: Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

CSR sejatinya adalah kewajiban moral sekaligus instrumen tanggung jawab lembaga. Tapi di tangan politisi rakus, dana itu berubah rupa jadi “amplop halal” untuk pencitraan di daerah pemilihan. Labelnya mulia: sosialisasi, edukasi, pengembangan masyarakat. Faktanya? Diduga kuat mengalir ke rekening pribadi, showroom mobil mewah, dan proyek bancakan yang tak ada kaitan dengan rakyat kecil.

Satori berdalih mobil-mobil yang disita KPK hanyalah barang dagangan showroom. Dalih klise yang sering kita dengar dari politisi ketika berhadapan dengan penyidik. Publik tentu boleh mencibir: mengapa showroom bisa berkembang pesat justru ketika ia menjabat di Komisi XI DPR yang mengawasi BI dan OJK? Apakah kebetulan semata, atau memang inilah wajah asli simbiosis kotor antara regulator dan politisi?

Lebih ironis, Satori sempat mengaku bahwa semua anggota Komisi XI mendapat aliran dana CSR. Jika pengakuan ini benar, maka praktik bancakan ini bukan kasus individu, melainkan korupsi berjamaah yang melibatkan satu komisi penuh. Dengan kata lain, Komisi XI DPR yang seharusnya mengawasi bank sentral justru menjelma menjadi mesin perasannya.

KPK patut diapresiasi karena berani menggeledah hingga ruang kerja Gubernur BI. Tapi publik juga menuntut konsistensi: jangan hanya berhenti di politisi rendahan atau aktor lapangan. Jika benar ada restu dari level elite, baik di BI, OJK, maupun partai politik, semua harus diseret ke meja hijau.

Kasus CSR ini adalah alarm keras bagi kita semua. Negara bukan hanya kehilangan uang, tapi juga kehilangan marwah. CSR yang seharusnya menolong rakyat malah dijadikan sapi perah elite politik. Inilah wajah “korupsi bergaya modern”: bukan lagi amplop di bawah meja, melainkan paket resmi bersampul program sosial.

Pertanyaannya sederhana: sampai kapan kita membiarkan lembaga tinggi negara jadi mesin pencucian uang dengan label CSR?

 

Opini

Tinggalkan Balasan