Berimbangcom – Denpasar | Selasa, 22 Juli 2025
Restoran cepat saji terbesar di Indonesia, Mie Gacoan, kembali jadi sorotan. Bukan karena antreannya yang mengular, melainkan karena ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran hak cipta musik. Warganet pun ramai-ramai menyuarakan kekesalan, bahkan menyarankan gerai dan tempat usaha lainnya berhenti memutar lagu Indonesia.
Kasus ini mencuat setelah Direktur PT Mitra Bali Sukses, I Gusti Ayu Sasih Ira, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bali. Laporan tersebut bermula dari aduan yang dilayangkan Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) pada 26 Agustus 2024. Setelah penyelidikan yang memakan waktu berbulan-bulan, kasus kini telah naik ke tahap penyidikan sejak Januari 2025.
Ironisnya, di tengah sorotan tersebut, sejumlah warganet di Platform Tiktok justru menilai pelaporan ini berlebihan. Mereka menilai, pemutaran lagu di ruang publik justru turut memperkenalkan dan mempopulerkan karya musisi Tanah Air, bukan malah merugikannya.
“Mulai sekarang cafe atau restoran setel lagu-lagu barat atau Mandarin saja, agar tidak kena denda. Lagu Indo? Sudah dijadikan ladang uang semua,” tulis akun @ANDIKA (bukan Kangen Band).
“Harusnya pencipta lagu berterima kasih, lagunya diputar terus, jadi tenar. Malah dituntut?” imbuh akun @iwan.
Tak sedikit yang mempertanyakan siapa sebenarnya yang mendapat keuntungan dari pelaporan semacam ini. Apakah benar pencipta lagu? Atau justru lembaga lisensi yang kerap tidak transparan?
Ada pula yang menyoroti dasar hukum dari laporan ini. Menurut akun @LOBOK, pemutaran lagu lewat platform legal seperti YouTube atau Spotify seharusnya tak bisa dipidanakan, karena lisensi penggunaan sudah tercover oleh platform tersebut.
“Kayaknya pasalnya kurang tepat deh. Kalau gitu, undangannya harus diperbaiki dong?” kritiknya.
Promosi atau Pelanggaran?
Kasus ini menimbulkan dilema: apakah pemutaran lagu di ruang usaha seperti restoran tergolong bentuk promosi atau pelanggaran hukum?
Jika semua tempat publik diwajibkan membayar royalti hanya karena memutar lagu Indonesia, mungkinkah justru karya-karya lokal makin tersisih karena pelaku usaha memilih alternatif aman dengan memutar lagu luar negeri?
Dalam konteks inilah, suara publik seolah menggugat praktik yang justru bisa membunuh ekosistem musik lokal dari dalam.
Red