BERIMBANG.com – Larangan study tour oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kian memicu polemik. Tak hanya diprotes para orang tua siswa, kebijakan tersebut kini memukul keras sektor pariwisata. Para pengusaha jasa transportasi hingga ribuan pekerja wisata mulai merasakan dampaknya—dari menjual aset, mengurangi karyawan, hingga ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Sejak diterbitkannya Surat Edaran Nomor 45/PK.03.03.KESRA yang secara efektif melarang kegiatan study tour di lingkungan sekolah, bisnis pariwisata di Jabar terpukul.
“Tanpa pemberitahuan, tanpa diskusi. Tiba-tiba sekolah-sekolah batal semua,” keluh H. Abung Hendrayana, pemilik PO Bus DMH Trans di Cileunyi, Bandung.
Abung mengaku telah menjual lima unit bus sejak Juni untuk bertahan hidup akibat anjloknya pesanan.
Nasib serupa dialami Rachmat, pemilik PO Smindo Trans di Depok. Ia bahkan terpaksa memangkas setengah jumlah karyawannya demi menutup biaya operasional.
“Kalau tidak ada langkah penyelamatan, PHK massal akan jadi kenyataan. Ini bukan hanya tentang bisnis, tapi juga keberlangsungan ribuan keluarga,” ujar Herdis Subarja, Koordinator Solidaritas Pekerja Pariwisata Jawa Barat (P3JB).
Menurut Herdis, setidaknya ada 7.000 orang yang bergantung hidup pada industri wisata pelajar ini—dari sopir, helper, admin hingga marketing. Delapan perusahaan di Bandung dan Depok sudah mulai melakukan perumahan terhadap karyawannya.
Gubernur Dedi Mulyadi: “Itu Bukan Pendidikan, Itu Piknik”
Namun, Gubernur Dedi Mulyadi bergeming. Ia menegaskan bahwa study tour adalah kegiatan rekreasi yang tak memiliki relevansi langsung dengan pendidikan siswa.
“Demonstrasi kemarin menunjukkan semakin jelas bahwa kegiatan study tour itu sebenarnya kegiatan piknik. Bisa dibuktikan, yang berdemonstrasi adalah para pelaku jasa kepariwisataan,” kata Dedi dalam akun Instagram resminya, @dedimulyadi71.
Menurut Dedi, larangan ini bertujuan melindungi orang tua siswa dari pengeluaran tak perlu, serta mengefisienkan pendidikan agar fokus pada karakter dan prestasi akademik.
Ia berharap, ke depan industri wisata Jabar bisa bergantung pada wisatawan murni—baik domestik maupun mancanegara—bukan siswa dari keluarga berpenghasilan pas-pasan.
Antara Ekonomi dan Pendidikan
Kebijakan ini memunculkan dua kutub. Di satu sisi, pemerintah mengklaim membela kepentingan rakyat banyak, terutama orang tua siswa. Namun di sisi lain, pelaku industri pariwisata merasa dikorbankan secara sepihak, tanpa dialog atau solusi alternatif dari Pemprov.
“Gubernur sepertinya tidak peduli akan nasib pelaku usaha dan pekerja sektor ini. Bahkan Sekda Jabar tidak menjelaskan kajian apa yang jadi dasar larangan ini,” kritik Herdis.
P3JB pun bersiap melayangkan tuntutan ke pemerintah pusat jika Pemprov Jabar tetap bersikukuh tanpa membuka ruang dialog.
Apakah ini bentuk pengendalian biaya pendidikan, atau justru penyeragaman kebijakan yang merugikan ekonomi rakyat? Waktu yang akan menjawab.**