CIANJUR – Tragedi duel pelajar yang menewaskan seorang siswa di Jembatan Parigi, Kecamatan Leles, Kabupaten Cianjur, berbuntut panjang. Kepolisian Resor Cianjur menetapkan 16 pelajar SMP dan MTs sebagai tersangka dalam kasus yang menewaskan siswa berinisial ZD.
Peristiwa memilukan ini terekam dalam video yang viral di media sosial, menunjukkan aksi brutal yang berujung maut. Lokasi kejadian, yang seharusnya menjadi ruang aman publik, berubah menjadi arena kekerasan remaja.
“Dari hasil penyelidikan dan alat bukti yang cukup, kami menetapkan 16 pelajar sebagai tersangka,” ujar Kasat Reskrim Polres Cianjur, AKP Tono Listianto, Sabtu (26/7/2025).
Para tersangka berinisial AZ, MD, AN, RS, RA, BG, MN, SS, RH, RF, A, RP, MH, PN, MF, dan N, mayoritas masih duduk di kelas 8 dan 9. Mereka berasal dari dua sekolah berbeda di Kecamatan Leles.
Penyidik mengungkap bahwa keterlibatan para pelajar bervariasi: ada yang ikut duel, mengatur lokasi, merekam, hingga menjadi penonton tanpa mencegah aksi kekerasan. Ironisnya, tidak satu pun dari mereka berinisiatif menghentikan duel yang akhirnya merenggut nyawa temannya sendiri.
Kasus ini menunjukkan kegagalan banyak pihak—baik institusi pendidikan, keluarga, hingga masyarakat—dalam membentuk karakter anak dan mencegah kekerasan usia dini.
Proses Hukum Anak, Bukan Bebas dari Tanggung Jawab
Kepolisian menerapkan Pasal 80 ayat (3) jo Pasal 76C Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak terhadap para tersangka. Ancaman hukumannya bisa mencapai 15 tahun penjara.
Namun, penanganan tetap dilakukan melalui jalur peradilan anak, dengan mempertimbangkan usia dan masa depan pelaku.
“Kita akan kedepankan pendekatan yang humanis dan sesuai sistem peradilan anak,” tambah AKP Tono.
Kekerasan Remaja: Fenomena Gunung Es yang Diabaikan
Kematian ZD seharusnya tidak hanya dianggap sebagai kasus kriminal biasa. Ini adalah peringatan keras atas semakin lemahnya kontrol sosial terhadap anak-anak dan remaja. Pertanyaan penting harus diajukan:
- Di mana peran sekolah dalam mencegah kekerasan?
- Mengapa lingkungan membiarkan aksi seperti ini terjadi?
- Apakah kita terlalu sibuk mengejar nilai akademik, hingga lupa membentuk nilai kemanusiaan?**