Artikel

Opini

Pertanggungjawaban Insiden Stadion Kanjuruhan, Analis Keamanan Publik Roger P Silalahi Angkat Bicara

BERIMBANG.com – Beredar narasi yang ditulis oleh Roger P. Silalahi Analis Keamanan Publik di media sosial WhatsApp Grup (WAG), terkait pertanggungjawaban tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang.

Dalam narasi tersebut, Roger Silalahi menulis tanggapan tentang tragedi Kanjuruhan yang menelan korban ratusan korban jiwa, berikut narasi selengkapnya:

Memakan korban 125 jiwa. Tragedi sepak bola terbesar kedua di dunia sejak 1964, sungguh memilukan dan memalukan, dan mengerikan.

Seperti biasa, publik bereaksi keras atas kejadian, memaki, mengutuk, dan mempersalahkan berbagai pihak. Saya melibatkan diri dalam berbagai diskusi di berbagai ruang publik, mengamati, mengumpulkan data, dan akhirnya angkat bicara.

Mempersalahkan Polisi dengan gas air mata, yang disebut membuat sesak dan menimbulkan kepanikan serta keterpojokkan massa di beberapa titik, itu reaksi banyak pihak.

FIFA melarang hal tersebut dalam point 19B peraturannya kata mereka, mengapa Polri melakukannya…? Ramai-ramai mempersalahkan Polisi, dan setelah berbagai data dipaparkan, barulah mereda, dan mulai berpikir objektif.

Ada banyak hal terjadi, ada banyak video tersebar, ada banyak spekulasi, yang terpenting bagi kita adalah memahami keseluruhannya, dari berbagai sisi, dan mengkaji keseluruhannya agar tidak terjadi lagi.

Persiapan Pertandingan

Pertandingan dipersiapkan cukup lama, dan melibatkan semua stake holder terkait, Panitia, Klub Sepak Bola, Media, Pemda, Kepolisian, dan juga Supporter.

Berbagai hal dicoba dilakukan, termasuk adanya pengaturan tidak hadirnya ‘Bonek’ di pertandingan, mengikuti keputusan rapat Aremania dan Panitia Pelaksana.

Tapi, saran dan permintaan dari Kepolisian terkait jam penyelenggaraan dan pembatasan jumlah penonton ditolak dan diabaikan oleh Panitia Pelaksana.

Ini tentunya tidak terlepas dari Indosiar selaku stasiun TV yang menyelenggarakan tayangan langsung laga tersebut, dan Panitia Pelaksana yang mengejar keuntungan semaksimal mungkin dari penjualan tiket masuk,

sehingga akhirnya jam tayang tidak berubah, sementara kapasitas stadion yang mampu menampung 42.499 orang dimaksimalkan di angka 42.000 tiket, tidak mengikuti saran Kepolisian yang menyarankan untuk menurunkan ke angka 25.000 tiket saja.

Data menunjukkan supporter yang datang berjumlah 42.288 orang, berarti tinggal 211 orang diluar supporter yang boleh masuk stadion.

Melihat ini, jika ditambahkan dengan jumlah Pasukan Pengamanan yang terdiri dari unsur Polisi dan TNI (jumlah pasti belum berhasil didapatkan), dapat dipastikan Stadion Kanjuruhan yang memiliki 14 pintu itu menampung jumlah orang melebihi kapasitasnya. Bisa dibayangkan, setidaknya 1 pintu harus melayani sekitar 7.265 orang.

Permintaan Kepolisian untuk menurunkan jumlah penonton pastilah terkait dengan ‘risk assessment’ dan ‘risk management’ yang diperhitungkan dan direncanakan Kepolisian, dalam hal ini, berkerasnya penyelenggara dan media tayang langsung dapat dianggap meremehkan Kepolisian.

Jumlah anggota yang tersedia pun pastilah terbatas dan hal ini pun terkait dengan permintaan penurunan jumlah penonton.

Tapi apa mau dikata, pertandingan dimulai, pertandingan selesai, kerusuhan terjadi. Kepolisian menembakkan gas air mata, sesuai dengan protap dan Perkap Nomor 16 tahun 2006, lalu banyak yang mempersalahkan hal gas air mata ini dengan berpegang pada aturan FIFA Point 19B.

Sebentar, jangan terburu-buru, kita bukan granat yang meledak setelah 10 detik, kita manusia yang diberikan kemampuan membaca, mempelajari dan memikirkan semuanya, sebelum berpendapat. Coba ikuti runutan logika berpikir berikut:

* Tingkatan dan Induk Peraturan

* Konstitusi, turunannya Undang Undang, turunan di bawahnya Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Kapolri, dll.

* Aturan FIFA, lembaga sepakbola Dunia, turunannya aturan PSSI…

* Jika berdasarkan tingkatan peraturan, maka yang harus dipertanyakan adalah PSSI. Apakah standar stadion Kanjuruhan sesuai dengan standar FIFA…? Jika tidak, salahkan PSSI.

* FIFA tidak bisa ditempatkan lebih tinggi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kenapa tidak mempermasalahkan standar stadion yang tidak mengikuti aturan FIFA sebagai ‘atasannya’…?

Terkait Aturan FIFA

Peraturan tersebut berlaku hanya untuk pertandingan yang langsung berada di bawah FIFA, dan pertandingan internasional yang diselenggarakan dengan regulasi FIFA. Dari sini, jelas aturan tidak berlaku untuk laga di Kanjuruhan.

Peraturan nomor 19 yang dianggap atau dipersalahkan dilanggar Polri tersebut diperuntukkan bagi Stewards, dan Petugas Keamanan yang diperbantukan sebagai Stewards.

Apa itu “Stewards”…? Definisi Stewards adalah; “For the purpose of these regulations, a steward is defined as any person employed, hired, contracted or volunteering at the stadium to assist in the management of safety and security of spectators, VIPs/VVIPs, players, officials and any other person at the stadium, excluding those persons solely responsible for the security of designated individuals and members of the police services responsible for maintaining law and order.”

Sementara peraturan FIFA pasal 9 dan 10 juga mencantumkan adanya “contingency & emergency plan” untuk pengamanan jika terjadi kerusuhan. Jadi, ketika terjadi kerusuhan, yang berlaku adalah “emergency plan”, “force major”.

Keseluruhannya sejalan dengan apa yang saya jelaskan sebelumnya, bahwa tidak ada dan tidak mungkin Kepolisian Negara Republik Indonesia harus tunduk pada peraturan FIFA.

Pengelola Stadion

Pintu dibuka, penonton masuk, lalu pintu dikunci, lalu penjaga pintu pergi entah ke mana, saat kerusuhan pecah, semua berebut keluar, berdesakkan, terhimpit di ruang menuju pintu keluar, dan beberapa pintu terkunci.

SOP stadion seperti apa…? Sesuai FIFA…? Adakah SOP standar PSSI…? Saya meragukannya. Lalu kemudian karena banyak yang terhimpit, kehabisan oksigen, sampai meninggal sekian banyak, apakah karena gas air mata atau karena tidak bisa keluar stadion…?

Masyarakat harus berani melihat keseluruhan peristiwa sesuai runutannya secara objektif, jangan hanya cari gampang mempersalahkan aparat, atau terbawa arus mempersalahkan polisi lalu pemerintah lalu ujungnya Salah Jokowi.

Jangan mau ditunggangi, tempatkan semua pada posisi, sesuai porsi.

Hati-hati, dunia ini penuh dengan bahaya.

Roger P. Silalahi
Analis Keamanan Publik

(***)

 

 

Opini

Dewan Pers Berkhayal Menjadi Ditjen PPG-nya Orde Baru

BERIMBANG.com – Surat Cinta Pribadi Kisman Latumakulita Untuk Dewan Pers

Kepada Yth.

DEWAN PERS

di

Jakarta

Dengan Hormat!

Selasa sore 31 Agustus 2021 lalu, saya mendengarkan kembali seluruh isi rekaman pertemuan mediasi melalui zoom antara Dewan Pers dengan Redaksi Majalah FORUM Keadilan. Sebelum mendengarkan hasil rekaman, saya bertanya kepada teman-teman Redaksi Majalah FORUM, yaitu Bang Mochamad Toha, Bang Zainul Arifin Siregar, dan Bung Rimbo Bugis yang ditugaskan Pemimpin Redaksi Majalah FORUM, Bang Luthfi Pattimura untuk ikut pertemuan zoom dengan Dewan Pers.

Pertanyaan saya “mana rekaman visual pertemuan dengan Dewan Pers?” Dijawab oleh Bang Toha, Bang Zainul, dan Bung Rimbo bahwa “dari pihak Majalah FORUM tidak bisa melakukan rekaman bang”. Setiap kali kami mencoba menghidupkan record di Laptop, petunjuk yang keluar adalah tulisan close. Kemungkinan disetel dari Dewan Pers begitu, sehingga Majalah FORUM tidak bisa merekam. Majalah FORUM hanya bisa melakukan rekaman secara audio,” kata bung Rimbo.

Kalau benar kejadiannya seperti itu, maka betapa luar biasa dan hebat juga Dewan Pers kita ini. Saya dapat memahami jawaban dari Bang Toha, Bang Zainul, dan Bung Rimbo. Akhirnya saya memutuskan melanjutkan mendengar seluruh isi rekaman pertemuan zoom tersebut sampai selesai, walaupun hanya melalui rekaman audio.

Selesai mendengar rekaman, langkah pertama yang saya lakukan adalah mengganti foto profil WhatsApp (WA) saya, yang sebelumnya saya mencium tangannya Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono, tokoh purnawirawan TNI yang masih hidup, yang paling saya kagumi hari ini. Saya biasa manggilnya di lapangan golf dengan sebutan “Om Wi”. Dan Om Wi juga memanggil saya dengan sebutam “nyong”, karena Om Wi pernah menjadi Komandan Batalion 731 Kabaressy di Kampung saya Pulau Seram.

Saya ganti foto profil WA saya, yang sebelumnya dengan Om Wi, dengan Almarhum Pak Prof Dr. B.J Habibie, Presiden ketiga. “Bapak Demokrasi Indonesia” yang paling saya kagumi dan banggakan. Semoga Allaah Subhaanahu Wataa’ala mengampuni segala kesalahan Pak Habibie, dan memasukkan Pak Habibie menjadi penghuni syurga bersama para pendahulu bangsa lainnya yang telah memerdekakan bangsa ini. Amin amin amin ya robbal alamin.

Saya mengagumi Pak Habibie, karena kemauannya yang luar biasa untuk melahirkan UU Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers. Pak Habibie menginginkan segala hambatan demokrasi dan kebebasan berpendapat melalui pers, yang dirasakan dominan di era Orde Baru, dikuburkan dari bumi Indonesia. Setiap perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa, tidak perlu diselesaikan dengan pendekatan kekuasaan.

 

Langkah penting pertama yang dilakukan Pak Habibie setelah menjabat presiden adalah membebaskan semua tahanan politik, tanpa melihat kasusnya apa. Langkah berikutnya, Pak Habibie membebaskan pers nasional dari segala belenggu kebobrokan, kebusukan, dan kekerdilan dari lembaga yang puluhan tahun dipakai pemerintah Orde Baru untuk mengontrol pers nasional, yaitu Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembinaan Pers dan Grafika (Dirjen PPG) Departemen Penerangan.

Lembaga superbody Ditjen PPG Departemen Penerangan di eranya Orde Baru tersebut lalu mengingatkan saya kepada nama-nama tokoh penting seperti Pak Ali Moertopo, Pak Harmoko (mantan Menteri Penerangan), Pak Subrata, dan Pak Dr. Janier Sinaga (mantan Dirjen PPG). Semoga saja Allaah Subhaanahu Wata’ala  mengampuni segala kesalahan mereka kepada insan pers Indonesia. Amin amin amin.

 

Pak Habibie tidak sendirian. Peran ada Pak Letjen TNI (Purn.) Yunus Yospiah, tokoh penting lain di balik kemerdekaan pers Indonesia dari belenggu Dirjen PPG Departemen Penerangan. Pak Yunus yang jagoan di medan tempur Timur-Timor, bersama Letjen TNI (Purn.) Theo Syafii dan Letjen TNI (Purn.) Sofian Effendi (ketiganya dari Korps Baret Merah Kopassus) itu menjadi sangat peduli dengan kebebasan pers negeri Indonesia. Pak Yunus yang purnawirawan TNI itu top, hebat, dan mengagumkan.

Berkaitan dengan berbagai perilaku aneh Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers belakangan ini, terutama meteri pertemuan media dengan Redaksi Majalah FORUM Keadilan, maka saya selaku pribadi yang hari ini kebetulan menjadi wartawan Majalah FORUM Keadilan menyampaikan pendapat pribadi (tidak mewakili sikap resmi Majalah FORUM Keadilan) merasa perlu untuk menyampaikan pendapat pribadi.

Saya menduga Dewan Pres dan para Tenaga Ahli Dewan tampaknya sangat dangkal, kerdil dan miskin pemahaman yang terhadap sebab-musabah dibalik lahirnya UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Padahal Pak Habibie dikenal sebagai “Bapaknya Demokrasi Indonesia”. Salah satu pilar terpenting negara demokrasi adalah kebebasan pers. Tidak seperti Ditjen PPG eranya Orde Baru yang buruk, bobrok dan busuk itu.

Dewan Pers sebaiknya tidak berkhayal, tidak berangan-angan, tidak bermimpi atau berprilaku seperti Ditjen PPG Departemen Penerangan. Apalagi Dewan Pers sampai menganggap dirinya lembaga superbody, seperti yang dikemukakan pada rapat zoom dengan Redaksi Majalah FORUM (dari rekaman audio Majalah FORUM). Ko, syahwat berkuasa Dewan Pers menonjol bangat. Masa insan pers mengkhayal kekuasaan?

Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers sebaiknya meluangkan waktu membuka dan membaca lagi peristiwa “Philedevia Contitutional Convention”, yang dimulai 25 Mei 1787 di Philedevia. Ketika itu sebanyak 13 negara bagian menyatakan tidak bersedia berabung dengan American Union, hanya karena masalah kebebasan pers dan Hak Asasi Manusia (HAM) belum dimasukkan dalam konstitusi Amerika.

Empat tahun kemudian, tapatnya tahun 1791, setelah dilakukan amandemen pertama konstitusi Amerika, dimana masalah kebebasan pers dan HAM sudah masuk ke dalam konstitusi Amerika, berulah 13 negara bagian menyatakan diri mau bergabung dengan American Union. Begitu pentingnya soal kebebasan pers tersebut untuk sebuah negara yang menyandang status sebagai “negara demokrasi”.

Sejak kapan ya, Dewan Pers dimandatkan UU Nomor 40 Tahun 1999 menjadi lembaga penyelidikan? Sehingga Dewan Pers bekepentingan untuk melakukan penyelidikan ke data Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) tentang data pribadi wartawan Majalah FORUM, Luqman Ibrahim Soemay? Sebab nama Luqman Ibrahim Soemay telah tercatat dengan sangat jelas sebagai wartawan Majalah FORUM Keadilan di box redaksi.

Apa saja kerugian yang telah, sedang dan akan diderita Dewan Pers, sehingga perlu melakukan penyelidikan ke Dukcapil tentang data pribadi saudara Luqman Ibrahim Soemay? Dulu di eranya Ditjen PPG, sebagian besar wartawan hanya dengan dengan kode angka atau huruf. Tanpa harus menulis nama yang jelas. Misalnya, Kisman Latumakulita kodenya itu “M15”, atau teman saya Mangarahon Dongoran kodenya “D-21”. Toh, Ditjen PPG Orde Baru sekalipun, nggak pernah melakukan pelacakan data pribadi siapa itu wartawan yang berkode M15 dan D-21.

Supaya penyelidikan dan pelacakan Dewan Pers dan Tenaga Ahli Dewan tersebut legal, maka sebaiknya Dewan Pers perlu tambah satu pasal lagi di UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang memberi kewenangan kepada Dewan Pres melakukan penyelidikan tentang data pribadi setiap wartawan. Bisa juga difasilitasi melalui Peraturan atau Keputusan apa saja suka-sukanya Dewan Pers, sehingga bisa leluasa melakukan penyelidikan. Bahkan bisa juga membuka kantor Dukcapil Cabang Khusus Dewan Pers.

Ditjen PPG Departemen Penerangan yang terkenal buruk, bobrok, dan busuk itu, tidak pernah melakukan penyelidikan data pribadi wartawan ke Dukcapil atau lembaga sejenis di era itu. Apa sih kepentingan atau kerugian Dewan Pers, sehingga merasa perlu melakukan penyelidikan ke Dukcapil tentang data pribadi seorang wartawan? Apakah Dewan Pers sebagai pihak merasa sangat dirugikan dengan tulisan Majalah FORUM “Rp 75 Miliar Untuk Komisi XI DPR Hancurkan BPK” tersebut?

Seburuk, sebobrok, dan sebusuk apapaun itu Ditjen PPG Departemen Penerangan, lembaga ini tidak pernah bertanya atau menyelidiki bagaimana proses produksi berita di ruang redaksi. Namun ketika pertemuan zoom dengan Redaksi Majalah FORUM, Dewan Pers merasa perlu bertanya, apakah berita yang diangkat Majalah FORUM dengan judul “Rp 75 Miliar Untuk Komisi XI DPR Hancurkan BPK” itu sudah dibaca belom oleh Pemimpin Redaksi Majalah FORUM? (rekaman audio milik Majalah FORUM)

Pertanyaan yang seperti ini nyata-nyata sangat tidak bermutu, picisan dan amatiran. Pertanyaan seperti hanya keluar dari dugaan kumpulan wartawan salon, wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release. Sebab pasti semua wartawan benaran, pastinya bukan wartawan gadungan, sangat paham kalau semua berita yang sudah naik cetak, pasti sudah dibaca dan sudah diedit oleh semua tingkatan di redaksi. Mulai dari Redaktur, Redaktur Pelaksana dan Pemimpin Redaksi. Masa untuk yang kaya gini saja perlu diajarkan juga kepada Dewan Pers sih?

Substansi masalah yang ditulis Majalah FORUM adalah potensi skandal sejenis seperti yang pernah membuat bangsa ini mengalami musibah politik dan hukum. Ketika itu hampir semua anggota Komisi XI DPR (dulu Komisi IX) yang membidangi Keuangan, Perbankan, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masuk penjara. Penyebabnya terjadi sogok-menyogok atau suap-menyuap dalam kasus Travel Chaque Miranda S. Gultom ketika menjalani fit and proper test sebagai calon Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia di Komisi IX DPR.

Pertanyaannya, kalau terjadi sogok-menyogok lagi di Komisi XI DPR, apakah Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers siap masuk penjara menggantikan anggota Komisi XI DPR? Padahal masalah mendasar yang ditulis Majalah FORUM adalah calon anggota BPK Nyoman Adhi Suryadnyana, pegawai eselon III Kementerian Keuangan yang tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota BPK, karena belum cukup 24 bulan tinggalkan jabatan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau Pejabat Publik Pengelola Keuangan Negara.

Nyoman Adhi Suryadnyana diduga sangat sadar dan paham, bahkan tidak mempunyai ambisi untuk menjadi calon anggota BPK. Namun dalam kenyataannya diloloskan oleh Komisi XI DPR pada seleksi administratif. Padahal sampai Agustus 2021 lalu, Nyoman baru 18 bulan meninggalkan jabatan sebagai KPA, sehingga dianggap melanggar Pasal 13 huruf (j) UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentang BPK.

Mahkamah Agung melalui Fatwa yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. HM. Syarifudin SH. MH, yang pada substansinya sejalan dengan yang ditulis Majalah FORUM. Mahkamah Agung dengan bahasa yang sangat sopan mengingatkan Komisi XI DPR bahwa Nyaman Adhi Suryadnyana tidak memenuhi syarat administratif. Ketentun Pasal 13 huruf (j) UU Nomor 15 Tahun 2006 tersebut mutlak harus dipernuhi Nyoman maupun Harry Soeratin (pejabat eselon II Kementerian  keuangan).

Bunyi faktwa Mahkamah Agung itu “calon anggota BPK yang pernah menjabat di lingkungan pejabat pengelola keuangan negara harus memenuhi syarat pasal 13 huruf (j) UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentag Bedan Pemeriksa Keuangan”. Frasa “harus” dalam fatwa Mahkamah Agung adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon anggota BPK, minimal dua tahun telah meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara.

Anehnya, Dewan Pers atas nama pengaduan dari Kementerian Keuangan, tampil di garda terdepan seperti lawyer Kementerian Keuangan mempersoalkan tulisan Majalah FORUM. Padahal substansinya sangat bermanfaat untuk bangsa dan negara, terutama untuk mencegah potensi terjadinya suap-menyuap atau sogok-menyogok di Komisi XI DPR berkaitan dengan selekasi calon anggota BPK menggantikan Prof Dr. Barullah Akbar. Pertanyaannya, Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers mau berpihak calon anggota BPK yang bagaimana? Yang tidak memenuhi syarat UU atau yang memenuhi syarat UU?

Nyoman Adhi Suryadnyana itu bawahannya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Hanya pegawai eselon III di Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Seorang staf yang nyata-nyata tak memenuhi syarat UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentang BPK. Namun dibiarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti seleksi calon anggota BPK? Apakah Dewan Pers punya kepentingan, atau mau mendukung calon anggota KPK yang tidak memenuhi syarat Pasal 13 haruf (j) UU Nomor 15 Tahun 2006 tersebut?

Saya menduga Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers pura-pura lupa, budeg dan buta bahwa budaya yang hidup subur di lingkungan birokrasi dan perpolitikan kita hari ini adalah “budaya korupsi, sogok-menyogok, suap-menyuap dan bayar-membayar. Budaya yang telah berhasil meluluh-lantakan hampir semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Jangankan mereka yang nyata-nyata tidak memenuhi syarat, mereka yang telah pasti memenuhi syarat saja, bisa melakukan sogok-menyogok. Apalagi yang tidak memenuhi syarat. Peluang terjadinya sogok-menyogok itu besar sekali. Disinilah pentingnya peran pers untuk mencegah terjadinya sogok-menyogok dan suap-menyuap itu. Masa untuk hal yang seperti ini Dewan Pers masih perlu diajarin lagi?

Institusi pers itu oleh universal democration dimandatkan sebagai “the four of state democration”. Tugasnya mengawasi dan mengontrol semua penyelenggara negara yang gajinya dibayar dengan uang dari pajak rakyat, termasuk Dewan Pers. Masa untuk hal yang seperti ini harus diajarkan lagi kepada Dewan Pers dan Tenaga Ahli Dewan Pers yang terkenal hebat-hebat itu? Belajar dimana sih kalian dulu ya?

Untuk menghindari stigma Dewan Pers sebagai dugaan kumpulan mantan wartawan atau wartawan salon yang hanya bisa berlindung di balik ketiak penguasa, karena bisanya menjadi wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release, maka Dewan Pers dan para tenaga ahli Dewan Pers yang dari unsur wartawan sebaiknya ingat kembali pesan pendiri Harian Kompas, P.K Ojong bahwa “tugas pers bukan untuk menjilat penguasa, tetapi untuk mengkritisi yang sedang berkuasa”. Pesan yang hampir sama datang dari Hebert Beuve Mery, pendiri Surat Kabar nomor satu Prancis “Le Monde” pada 19 Desember 1944 bahwa “tugas jurnalis itu untuk membuka-buka apa yang selalu mau ditutupi pemerintah”.

Harusnya Dewan Pers bangga kepada Majalah FORUM Keadilan yang sampai sekarang masih bisa terbit cetak (printing), pada saat banyaknya media cetak sudah gulung tikar (bangkrut) akibat dominannya media online di era digital. Sayangnya, Dewan Pers masih ingin berperilaku layaknya Ditjen PPG Departemen Penerangan, yang sekaligus menjadi penjaga pintu Kementerian Keuangan dari segala gangguan di insan pers.

Saya menduga Dewan Pers dan Tenaga Ahli Dewan dangkal dan minim pemahaman terhadap Pasal 3 ayat 1 dan 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Sebab dengan terbitnya Majalah FORUM, baik fungsi sosial kontrol maupun fungsi ekonomi terwadahi. Ada sekitar 75-100 orang anak bangsa (wartawan, anak dan istri atau suami) numpang makan (hidup) melalui aktivitas Majalah FORUM Keadilan.

Saya bolak-balik baca berkali-kali UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Sayangnya, saya tidak menemukan satu pasal pun di UU Nomor 40 Tahun 1999 yang memberi kewenangan kepada Dewan Pers untuk melakukan verifikasi terhadap perusahaan pers. Anehnya Dewan Pers membuat keputusan sendiri (onani) untuk melakukan verifikasi tanpa mandat dari UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Pasal 15 ayat 2 huruf (g) UU Nomor 40 Tahun 1999 hanya menyatakan Dewan Pers “mendata perusahaan pers”. Hanya mendata saja. Tidak lebih dari itu. Tidak juga disuruh melakukan verifikasi kepada perusahaan pers. Mendata itu tidak sinonim atau memiliki arti yang sama dengan melakukan verifikasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan mendata itu menginput atau melakukan pendataan hal-hal yang berkaitan denga angka-angka dan jumlah.

Mendata itu menginput berapa banyak jumlah perusahaan pers yang menerbitkan surat kabar, berapa jumlah tabloid, berapa jumlah majalah, berapa jumlah televisi, berapa jumlah radio, berapa jumlah media online, dan berapa jumlah wartawan dan karyawan di perusahaan pers yang masih aktif tersebut? Termasuk juga berapa jumlah wartawan salon? Berapa wartawan konfrensi pers? Berapa jumlah wartawan keterangan pers? Berapa jumlah wartawan press release? heheheheheheee

Sedangkan itu verifikasi identik dengan melakukan seleksi. Pertanyaannya, siapa saja panitia seleksinya? Panitia diangkat dengan surat keputusan dari lembaga apa? Hasilnya verifikasi sudah pasti ada yang lolos, namun ada pula yang tidak lolos atau gugur. Sedangkan mendata, pasti semuanya bakal lolos karena tidak ada yang gugur atau tidak lolos.

Kalau untuk hal kecil seperti membedakan antara mendata dan melakukan verifikasi saja, Dewan Pers tidak mampu memahami, apalagi memikirkan hidupnya pers nasional? Apalagi untuk memikirkan upaya-upaya mencegah terjadinya sogok-menyogok atau suap-menyuap di DPR. Apalagi untuk memikirkan tata kelola berbangsa dan bernegara berjalan sesuai dengan cita-cita dan tujuan bernegara?

Saya dalam kapasitas pribadi akan mengusulkan kepada manejemen Majalah FORUM untuk segera melakukan diskusi dengan para ahli hukum di internal Majalah FORUM, ada delapan orang doktor hukum di dewan pakar Majalah FORUM  untuk memikirkan kemungkinan melakukan Judicial Review atas keputusan Dewan Pers yang berkaitan dengan verifikasi perusahaan pers. Karena verifikasi tidak mendapatkan mandat atau perintah setengah pasal pun dari UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Majalah FORUM Keadilan telah diakui negara sebagai media massa nasional resmi, jauh sebelum aturan Dewa Pers tentang verifikasi perusahaan pers ada. Keberadaan Majalah FORUM sudah menjadi pengetahuan umum dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Nomor 265/SK/MENPEN/SIUPP/02/1990 diberikan kepada PT FORUM ADIL MANDIRI. Sejak terbit tahun 1991 sampai sekarang, negara melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), dulu masih Departemen Kehakiman memberikan SERTIFIKAT MEREK Majalah FORUM Keadilan kepada PT FORUM ADIL MANDIRI.

Saya menduga Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers masih berangan-angan, berkhayal menjadi lembaga seperti Ditjen PPG Departemen Penerangan di era Orde Baru. Karena menentukan mana saja perusahaan pers yang masuk katagori terverifikasi atau tidak? Hanya dengan kewenangan melakukan verifikasi itulah, Dewan Pers leluasa mengukuhkan diri sebagai lembaga superbody di insan pers nasional. Bedanya, Ditjen PPG Departemen Penerangan, menjadi lembaga superbody melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sedangkan Dewan Pers menjadi lembaga superbody melalui instrumen verifikasi kepada perusahaan pers. Yaa beda-beda tipis sajalah.

Saya dapat memahami keinginan Dewan Pers dan Tenaga Ahlinya agar tetap menjadi lembaga superbody, karena sebagian orang-orangnya yang dari unsur wartawan diduga para mantan wartawan atau wartawan penikmat kekuasaan pada semua penguasa (wartawan salon), wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release. Bisanya hanya berusaha dan berusaha berlindung di balik ketiak setiap kekuasaan, baik itu sejak era Orde Baru sampai sekarang.

Dewan Pers sebaiknya tidak membuat regulasi yang aneh-aneh. Regulasi yang bisa mempersempit ruang gerak pers nasional. Kalau tidak bisa menolong pers nasional, jangan membuat masalah. Apalagi bangga menjadi lembaga superbody seperti Ditjen PPG Departemen Penerangan. Toh, sampai hari ini Dewan Pers tidak membuat terobosan yang membuat pers nasional dapat hidup secara ekonomi, seperti yang dilakukan oleh Marzuki Usman ketika menjabat Ketua Badan Palaksana Pasar Modal (Bapepam).

Kebijakan Marzuki Usman yang sangat membantu menghidupi pers nasional itu, masih terasa manfaatnya hingga sekarang. Marzuki Usman mewajiban semua perusahan yang go public atau menjual ogligasi di Pasar Modal Indonesia, harus mengumumkan laporan keuangan perusahaan minimal di dua media massa nasional. Sayangnya Dewan Pers hingga kini tidak memberikan penghargaan untuk orang hebat seperti Pak Marzuki Usman dan Pak Yunus Yosfiah.

Berpikir menghargai orang-orang yang telah berjasa kemajuan dan menghidupi pers nasional saja, Dewan Pers tidak mampu. Apalagi memikirkan kehidupan dan kemajuan pers nasional. Fakta ini karena dugaan saya Dewan Pers dan Tenaga Ahli Dewan Pers adalah kumpulan wartawan salon, wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release. Jadi, dapat dipahami kemampuan mereka seperti apa?

Kalau saja Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers bukan dugaan kumpulan wartawan salon, wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release, maka Dewan Pres bisa mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan BPK agar hasil audit tahunan BPK untuk semua institusi negara, baik Kementerian atau Lembaga di Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Kota, BUMN dan BUMD diharuskan diumumkan di 3-5 media massa nasional. Tujuannya agar publik bisa menilai kinerja keuangan setiap institusi negara.

Kalau pengumuman hasil audit tahunan BPK itu wajib diumumkan di media massa nasional bisa, seperti yang dilakukan Pak Marzuki Usman, pasti sangat menolong kehidupan pers nasional. Namun itu bisa terealisasi kalau Dewan Pers punya gagasan untuk memajukan pers nasional. Gagasan yang top markotop seperti itu tidak mungkin muncul dari dugaan kumpulan wartawan salon, wartawan konfrensi pers, wartawan keterangan pers dan wartawan press release.

Mengakhir surat terbuka ini, saya mengajak Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers membuka lagi risalah sidang-sidang penting Badan Persiapan Usaha Kemedekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI), terutama sidang PPKI tanggal 15 dan 16 Juli 1945 tentang rancangan UUD negeri ini. Ketika itu Bung Hatta dan Profesor Soepomo melotarkan gagasan besar bernama “Publieke Opinie”.

Pada sidang yang dihadiri lengkap anggota PPKI inilah, muncul argumen yang menggambarkan kehendak pembentuk UUD 1945 tentang konsep menteri. Saya menaruh hormat kepada semua anggota PPKI, tetapi saya lebih kagum kepada Pak Hatta (anggota PPKI) dan Pak Soepomo (Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945). Saat Pak Soepomo menerangkan draf UUD 1945, Pak Hatta meminta kesempatan bicara. Permintaan Pak Hatta disetujui dan dipersilahkan Pak Radjiman yang menjadi Ketua sidang. Semoga amal baik mereka semua diterima disisi Allah Subhanau Wata’ala.

Pandangan Pak Hatta tentang pentingnya para menteri memahami perasaan umum yang hidup dan berkembang di masyarakat didukung oleh Pak Soepomo. Kata Pak Soepomo, kita harus percaya kebijaksanaan Kepala Negara dan pembantu-pembantunya. Mereka bukan pembantu biasa. Tetapi orang-orang yang sangat terkemuka, dan ahli negara yang bukan saja mengingat “publieke opinie” atau perasaan umum di dalam DPR. Tetapi juga mengerti publieke opinie di dalam masyarakat pada umumnya.

Begitulah pandangan menembus zaman kedua bapak pendiri bangsa yang mempersiapkan UUD 1945. Menteri yang dikehendaki Pak Hatta maupun Pak Soepomo harus yang bisa menyerap, merespon publieke opinie atau perasaan umum masyarakat. Masalahnya bagaimana publieke Opinie  itu diketahui? Harus diketahui siapa? Harus diketahi oleh menteri.

Menteri tidak memiliki kapasitas pribadi atau natural person. Tetapi menteri itu individu dalam makna legal person yang diciptakan UUD 1945. Konsekuensinya, selama orang itu berstatus menteri, maka natural person terserap ke dalam kapasitas sebagai menteri. Status hukumnya sebagai pribadi atau natural person, telah terabsorbsi sepenuhnya ke dalam status sebagai menteri.

Kalau tidak ada orang yang bicara, baik itu melalui pers maupun bukan pers, karena takut dikekang, takut dipenjara, takut dituduh fitnah dan sejenisnya, bagaimana menteri bisa tahu tentang perasaan umum yang dipikirkan Pak Hatta dan Pak Soepomo itu? Pada titik inilah “pandangan Pak Hatta dan Pak Seopomo menjadi penyedia lentera untuk menteri mengetahui publieke opinie atau perasaan umum. Apa saja itu? Hak masyarakat untuk bersuara.

Kata Bung Hatta dalam pertemuan 15 Juli 1945, “hendaklah kita perhatikan syarat-syarat, supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan. Kita bangun masyarakat baru yang berdasar gotong royong dan usaha bersama. Tujuan kita untuk membaharui masyarakat. Jangan kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu, masih ada suatu negara lagi yang bernama kekuasaan”.

Setelah Muh. Yamin bicara dalam nada yang sama, pendangan Pak Hatta dan Pak Soepomo tentang publieke opinie disetujui. Persetujuan itu dicapai tanggal 16 Juli 1945, dan dikristalkan menjadi pasal 28 UUD 1945. Hebat betul bapak-bapak perancang UUD 1945 itu. Mereka tidak licik, tidak picik dan tidak kerdil. Mereka tidak menyediakan teknis, tetapi sarana konstitusi yang memastikan negara setelah terbentuk, tidak menjadi negara penindas, dan negara tiranis terhadap kebebasan dan perbedaan pendapat di masyarakat.

Begitulah cara bapak bangsa mengontrol, dan membuat jaminan negara tidak menjadi negara kekuasaan. Caranya, memberi ruang yang luas kepada warga negara hak untuk bersuara. Hak untuk bicara dan mengkritik penguasa. Dengan hak itu, orang tak takut bicara, karena khawatir akan ditindas, dipenjara dengan tuduhan artificial khas negara kekuasaan yang otoriter.

Masyarakat bicara tentang apa saja? Tentang kehidupan bernegara, bicara postur paling aktual dan nyata dari pemerintah. Bicara presiden dan menteri-menteri yang menjadi pembantunya dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hak untuk bersuara adalah cara para negarawan itu memungkinkan perasaan umum itu terlihat oleh pemerintah, presiden dan menteri-menteri. Sungguh logis dan hebat para pendiri bangsa. Sungguh manis impian para negarawan itu.

Berkelas dan mengagumkan jika Dewan Pers dan para Tenaga Ahli Dewan Pers mengenal, memahami dan menghidupkan kehendak para pembentuk UUD 1945, sehingga membuat bangsa ini berjalan menemukan jalan terang dan menjemput hari esok yang hebat. Tugas pers itu mengawal, menjaga dan memastikan negara dikelola sesuai cita-cita dan tujuan bernegara. Demokrasi menjadi hebat bila sivil society aktif dan mengkritisi yang sedang berkuasa, tanpa melihat siapa yang berkuasa. Untuk itu, kenali unsur-unsur ganasnya, lalu disingkirkan.

Semoga bermanfaat untuk insan pers negeriku tercinta.

Jakarta 07 September 2021

Hormat saya,

Wartawan Majalah FORUM Keadilan, Kisman Latumakulita.

 

 

Artikel

Sangat Mudah , Aplikasi Thelikey Penghasil Uang Hanya Dengan Melakukan Misi

BERIMBANG.com – Paltform dengan nama Thelikey dapat anda coba dengan hanya melakukan investasi dana mulai dari 300 ribu rupiah sampai yang tertinggi sebesar 32 juta rupiah sesuai dengan level yang diinginkan penggunanya, untuk yang ingin mencoba Trial juga ada dengan masa berlaku selama 3 hari.

Pengguna yang telah menjadi anggota sangat mudah, hanya dengan melakukan misi atau tugas dengan cara like di YouTube dan Facebook  sudah dapat memberikan keuntungan yang lumayan besar dengan masa berlaku keanggotaan selama 1 tahun sejak dimulainya keanggotan baru.

Kami ingin coba memperkenalkan aplikasi ini supaya mengetahui lebih banyak apa itu Thelikey yang saat ini sedang populer di Indonesia sampai mancanegara.

Aplikasi yang satu ini merupakan salah satu jenis aplikasi yang bisa di bilang masih tergolong cukup baru akhir-akhir ini.

Kenapademikian sebab ? Sebab menurut riset yang sudah kami lakukan dalam beberapa waktu yang lalui aplikasi ini baru muncul dalam minggu ini.

Untuk itu aplikasi yang satu ini menjadi salah satu jenis aplikasi yang hangat di bicarakan selain aplikasi yang satu ini Bel Kecil Penghasil Uang.

Nah di dalam aplikasi yang satu ini para pengguna akan di tuntut untuk bisa menyelesaikan berbagai macam tugas yang terbagi-bagi di beragam misi.

Misi-misi yang d berikan dari aplikasi yang satu ini bisa di katan relatif cukup simpel dan juga mudah untuk kalian lakukan. Sebab di sini para pengguna akan.

Atau di haruskan melakukan beberapa jenis misi yang terbagi-bagi di beberapa golongan mulai dari misi melakukan like FB dan Youtube Memang terlihat sangat mudah.

Anda dapat mencobanya di https://www.thelikey.org/#/register/5525042

Artikel

Bukti Sejarah Kerajaan Galuh Memang Benar Ada

BERIMBANG.com – Budayawan Betawi Ridwan Saidi kembali membuat geger. Setelah sebelumnya menyebut Sriwijaya fiktif, kali ini giliran kerajaan di Jawa Barat yang disasar. Dalam video unggahan kanal YouTube “Macan Idealis”, Babe, panggilan akrab Ridwan Saidi, menyebut jika di Ciamis tidak ada kerajaan. Menurutnya daerah Ciamis tidak memiliki indikator eksistensi adanya kerajaan, yakni indikator ekonomi.

Babe mempertanyakan sumber penghasilan Ciamis untuk pembiayaan kerajaannya, mengingat daerah itu tidak memiliki pelabuhan dagang. Ia juga meragukan sumber-sumber tentang Ciamis yang sudah ditemukan, seperti bekas bangunan dan punden berundak. Hal tersebut, kata Babe, perlu diteliti karena bisa jadi itu bekas bangunan biasa atau hanya Kabuyutan (tempat berkumpul) saja.

“Sunda-Galuh saya kira agak keliru penamaan itu, karena Galuh artinya ‘brutal’,” ucapnya.

Ucapan Babe itu mendapat tanggapan yang beragam. Kalangan masyarakat Sunda, khususnya warga Ciamis, merasa pernyataan itu keliru. Ridwan Saidi dianggap telah menyebarkan informasi yang salah tentang sejarah. Mereka meminta Babe menarik ucapannya dan segera meminta maaf kepada masyarakat Ciamis.

Namun pada unggahan lain (14 Februari 2020), Ridwan Saidi mencoba mengklarifikasi ucapannya tentang sejarah Ciamis dan kerajaan Galuh. Ia membuka percakapan di dalam video tersebut dengan permintaan maaf atas kegaduhan yang dibuatnya.

“Saya tidak bermaksud membuat sensasi sejarah, tapi rekonstruksi sejarah. Kalau ini membuat heboh sementara pihak ya saya minta maaf, karena memang begitulah perjuangan untuk merekonstruksi sejarah dalam rangka persatuan Indonesia dan dalam rangka memotivasi generasi baru untuk maju ke depan menghadapi tantangan zaman,” ucapnya.

“Tetapi terus terang, kutipan dari (kamus) Armenian-English itu ga bisa saya ubah,” lanjut Ridwan Saidi. “Mengenai arti Galuh itu.”

Lantas apakah ucapan Ridwan Saidi tentang Galuh itu benar adanya?

Membuktikan Keberadaan Galuh
Pada 1970-an, para sejarawan yang tergabung dalam Tim Peneliti Sejarah Galuh berhasil mengumpulkan informasi terkait kedudukan Galuh dalam narasi sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Dalam laporan tahun 1972, Galuh Ciamis dan Tinjauan Sejarah, tim peneliti tersebut berhasil mengumpulkan nama-nama kerajaan yang masih berkaitan dengan Galuh.

Menurut Mumuh Muhsin Z, dalam Ciamis atau Galuh, kata “galuh” secara bahasa mengandung tiga makna. Pertama, kata galuh berasal dari bahasa Sansekerta galu, yang berarti “permata yang paling baik”. Kedua, kata galuh berasal dari kata aga, berarti “gunung” dan lwah, berarti “bengawan, sungai, laut”. Ketiga, kata galuh bisa dimaknai juga galeuh (bahasa Sunda) yang berarti “bagian di dalam pohon yang paling keras”.

“Arti-arti kata tersebut jelas sangat simbolis dan sarat muatan makna yang sangat dalam,” ucap sejarawan dari Universitas Padjadjaran itu.

Ada lebih dari 10 nama kerajaan yang terkait dengan Galuh. Lokasinya pun tidak hanya di Jawa Barat sebagai daerah yang diyakini sebagai wilayah kekuasaan kerajaan Galuh. Berikut beberapa di antaranya: Kerajaan Galuh Sindula, berlokasi di Lakbok, ibukota Medang Gili; Kerajaan Galuh Rahyang, berlokasi di Brebes, ibukota Medang Pangramesan; Galuh Kalangon, berlokasi di Roban, ibukota Medang Pangramesan; Galuh Lalean, berlokasi di Cilacap, ibukota Medang Kamulan; Galuh Pakuan, ibukota di Kawali; Galuh Kalingga, Galuh Tanduran, dan sebagainya.

Berdasar informasi tersebut para peneliti meyakini jika Galuh adalah sebuah kerajaan dengan ibukota yang berpindah-pindah. Mereka tidak menetap di satu wilayah saja. Sejalan dengan itu, Nugroho Notosusanto dan para peneliti sejarah, dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, juga menyebut Galuh sebagai pusat kerajaan yang berpindah.

“… maka nama Galuh, Pakuan Pajajaran, atau Pajajaran kemungkinan besar adalah nama pusat kerajaan yang telah mengalami perpindahan beberapa kali,” tulis Notosusanto.

Hasil penelusuran Notosusanto juga mendapati bahwa secara umum kerajaan di Jawa bagian barat, selepas runtuhnya kekuasaan Tarumanegara, hanya ada satu sebutan, yakni Sunda. Namun nama tersebut tidak terikat oleh satu kerajaan semata. Informasi itu didapat dari berbagai sumber, mulai dari prasasti, naskah, catatan perjalanan, dan keterangan bangsa asing yang pernah mengunjungi Tatar Sunda.

Prasasti tertua yang mengungkap hal tersebut adalah prasasti Rakryan Juru Pangambat, berangka tahun 932 Masehi, ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor. Prasasti lainnya ada Sang Hyang Tapak dan Sang Hyang Tapak II, berangka tahun 1030 Masehi. Sedangkan Carita Parahiyangan (akhir abad ke-16) menyebut Sunda sebagai nama kawasan. Berita Cina, dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, pada zaman dinasti Ming juga menyebut adanya penguasa bernama Sun-la.

“Dari bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah Jawa Barat sebenarnya umum dikenal dengan nama Sunda. Sedang nama-nama lain yang berhubungan juga dengan daerah ini adalah nama pusat kerajaan atau ibukota. Misalnya Galuh yang berkali-kali disebutkan dalan Carita Parahiyangan,” ungkap Notosusanto.

Sementara sejarawan Sunda Nina H. Lubis dalam Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat, mengungkapkan jika penyebutan nama kerajaan di dalam sumber sejarah bisa saja berubah-ubah. Terutama karena adanya kebiasaan dari negara-negara di Asia Tenggara untuk menyebut nama kerajaan dengan nama ibukotanya.

“Jadi kalau sebuah sumber menyebut nama kerajaan Galuh, itu bisa berarti kerajaan Sunda yang beribukota di Galuh,” ucapnya.

Berdirinya Kerajaan Galuh
Untuk membuktikan secara historis kapan kerajaan Galuh berdiri, keberadaan prasasti dan berita-berita sezaman amat penting. Ada beberapa prasasti yang memuat informasi mengenai Galuh, meski sebagian ditemukan tanpa penjelasan tentang lokasi dan waktunya. Dalam prasasti berangka tahun 910, seorang raja bernama Balitung disebut sebagai “Rakai Galuh”. Dalam prasasti Siman, berangka tahun 943, terdapat nama Galuh yang berkuasa atas sebuah wilayah.

Sementara pada naskah Carita Parahiyangan, dalam Carita Parahiyangan: Naskah Tititlar Karuhun Urang Sunda abad ka-16, kisah tentang kerajaan Galuh dimulai ketika era politik kerajaan Tarumanegara di Tatar Sunda berakhir. Ketika para penguasa bekas Tarumanegara mendirikan Sunda, beberapa orang menolak bergabung. Di bawah pimpinan Wretikendayun, mereka pun akhirnya mendirikan kerajaan yang kemudian berpusat di Galuh (Ciamis) pada abad ke-7.

Menurut sejarawan Sunda Budimansyah, Wretikendayun dan penerus kerajaan Tarumanegara, Trarusbawa, sepakat membagi wilayah Tatar Sunda menjadi dua bagian dengan batas kekuasaan di Sungai Citarum. Hal itu dilakukan untuk menghindarkan kedua kerajaan itu dari pertikaian dan kepentingan politik lainnya.

“Citarum ke arah timur, sampai Ciserayu di selatan dan Cipamali di utara, menjadi wilayah kerajaan Galuh. Lalu dari Citarum ke arah barat menjadi wilayah kerajaan Sunda. Jadi Galuh dan Sunda (Pakuan Pajajaran) lahir secara bersamaan,” ucap Budiansyah kepada Historia.

Di dalam naskah Carita Parahiyangan juga diceritakan tentang raja-raja yang pernah berkuasa di Galuh. Termasuk intrik yang terjadi antara para penguasa Galuh. Seperti cerita tentang Raja Sena, penguasa ke-4 Galuh yang dikalahkan oleh Rahyang Purbasora, saudaranya sendiri. Akibatnya Sena diasingkan ke Gunung Merapi bersama keluarganya. Beberapa tahun kemudian penerus Sena, Sanjaya, berhasil membalaskan dendam pendahulunya.

Nama Galuh sebagai pusat kerajaan disebut berkali-kali dalam Carita Parahiyangan. Nama-nama tempat yang disebutkan di naskah ini juga umumnya terletak di Jawa Barat bagian timur, yang merupakan wilayah Galuh sesuai perjanjian dengan penerus Tarumanegara. Jadi, kata Nina, dapat disimpulkan bahwa pada abad ke-8 M pernah ada Raja Sanjaya yang berkuasa di Galuh.

 

Artikel

Kenang Jasa Pejuang Kemerdekaan, Jas Merah: “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”

BERIMBANG, COM, BOGOR – Indonesia akan memperingati kemerdekaan yang ke-75, tahun ini. Meski di tengah keterbatasan karena pandemik COVID-19, kemerdekaan selayaknya juga digunakan untuk mengenang para pejuang kemerdekaan yang ikut berjuang demi negeri ini.

Tak semua tokoh pejuang terkenal dan masuk daftar “Pahlawan Nasional”. Beberapa dari mereka bahkan tanpa gelar.

Demikian dikatakan R. Andi Suwandi, anak dari seorang pejuang kemerdekaan. Ayahnya, R.HM. Syamsudin, merupakan salah satu tokoh pejuang kemerdekaan.

“Pada masa perjuangan, dulu ayah saya sering menceritakan dimana pada masa itu berjuang dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, tidak mudah untuk meraihnya. Waktu itu, ayah saya di pasukan Siliwangi, selain ikut berperang juga melakukan pengawalan terhadap presiden Soekarno,” kata R. Andi Suwandi, Jum’at (14/8/2020).

Selain tak bergelar pahlawan nasional. Lanjutnya, beberapa tokoh pejuang bahkan tak banyak dikisahkan. Meski demikian, bangsa ini tidak boleh menafikkan peran mereka.

“Tanpa atau dengan gelar, perjuangan mereka dalam memerdekakan Indonesia tetap harus diapresiasi dan diteladani,” ujar Andy Djava panggilan akrabnya.

Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, jasa-jasa para pejuang kemerdekaan menjadi poin penting yang tak boleh dilupakan begitu Saja. Menurutnya, Peran mereka (pejuang-red), bagi bangsa ini amatlah besar.

“Presiden Indonesia pertama, Ir Soekarno pernah menyebutkan istilah jas Merah: ‘jangan sekali-kali melupakan sejarah’ untuk memberikan penghargaan tertinggi kepada mereka para pejuang kemerdekaan,” pungkasnya.

(Yosep/Annisa)

Artikel

Pisang Unik Berbuah Dua Tandan Ditemukan Di Pondok Rajeg

BERIIMBANG.com, Cibinong – Pohon pisang pada umumnya hanya berbuah satu tandan. Namun di Kampung Cipayung, Kelurahan Pondok Rajeg, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, terdapat sebuah pohon pisang ajaib dengan dua buah tandan.

Pohon pisang ajaib itu tumbuh di pekarangan rumah milik Idris (45). Pohon tersebut terlihat berbeda dibandingkan pohon pisang lain di sekitarnya.

Salah satu warga Rawadenok, Depok, Bahrudin sedang menyaksikan keunikan pohon pisang berbuah dua tandan ( Foto : Ist).

Dengan tinggi sekira tiga meter, pohon ini berjenis pisang ambon lumut. Buahnya menjadi lebih banyak karena menghasilkan dua tandan sekaligus.

Idris, pemilik pohon pisang ajaib mengatakan, baru menyadari adanya keanehan pohon pisang tersebut ketika mulai berbuah pada awal Juli 2020. Waktu itu baru keliatan satu tandan dan tidak lama berselang muncul satu tandan lagi seperti sekarang.

“Pohon pisang ini sudah ditanam sejak satu tahun lalu. dan tidak menunjukan keanehan , sama seperti pohon pisang lainnya, ” ujar Idris. Minggu ( 9/8).

Menurut Idris, setiap tahun pohon-pohon tersebut selalu menghasilkan buah. Baru kali ini pohon pisang bisa berbuah hingga tiga tandan.

“Tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Padahal dari perawatan, ya biasa aja dan hanya rutin dipupuk,” ungkapnya.

Sebelum berbuah dua tandan, Idris juga mengatakan pernah berbuah sampai tiga tandan , sebelum berbuah dua tandan yang sekarang ini.

Ia tidak berencana menjual pisang ini ketika sudah matang. Pisang tersebut akan dibagikan kepada warga sekitar.

Kelangkaan pohon pisang ini menarik perhatian masyarakat. Mereka sengaja datang ke rumah Idris hanya untuk melihat langsung pohon pisang tersebut dan mengabadikan untuk diunggah di media sosial.dan Grup Whattsap.

Beberapa teman teman reuni STM Madex , salah satunya Ali Cemong mengaku baru kali ini melihat pisang bertandan dua.

“Foto untuk status saja karena penasaran. belum pernah melihat dan saat saya baru main kesini dalam rangka menghadiri reuni dan kebetulan pohon pisang unik itu ada di oekarangan rumah Idris yang dijadikan tempat untuk reuni ,” ujar Ali.

Iik

JakartaOpini

Mewaspadai Perampasan Hak Asasi Manusia di Tengah Pandemi Covid-19

BERIMBANG.com Oleh: Dolfie Rompas

Di tengah upaya Pemerintah menangani pandemi Covid-19, beredar juga isu tentang ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan yang dilakukan oleh beberapa oknum tim medis dalam menangani pandemik ini di berbagai rumah sakit yang ada.

Banyak warga masyarakat yang merasa tidak puas dan keberatan karena mengalami semacam tindakan pemaksaan, antara lain saat akan diisolasi di rumah sakit hanya berdasarkan hasil dugaan atau kekuatiran kemungkinan akan terpapar Virus Covid-19.

Pada kasus lain, juga terjadi pemaksaan oleh pihak oknum tim medis terhadap jenazah orang yang wafat karena penyakit non Covid-19 untuk dikuburkan mengikuti protokol pemakaman jenazah Covid-19.

Masyarakat tidak bisa menguburkan keluarganya yang meninggal, hanya karena dugaan-dugaan si mayat terinfeksi Virus Covid-19.

Padahal, mereka (pasien dan jenazah – red) belum memiliki rekam medis yang secara pasti menyatakan bahwa mereka telah terinfeksi Covid-19.

Ada juga warga yang ingin melakukan isolasi mandiri di rumah sendiri, namun mengalami kesulitan. Pihak oknum rumah sakit tetap memaksakan yang bersangkutan untuk diisolasi di rumah sakit tersebut.

Sangat jelas diatur di dalam UU Republik Indonesia No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya Bab 1 pasal 1 ayat (7) mengatakan bahwa yang dimaksud isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang sehat.

Jadi, seseorang yang diisolasi harus benar-benar sakit, bukan baru diduga akan sakit, atau yang sudah memiliki rekam medis bahwa orang tersebut benar-benar telah terinfeksi penyakit Virus Covid-19.

Masyarakat juga bisa melakukan karantina di rumah sendiri jika diduga terinfeksi suatu penyakit sebagaimana yang diatur pada pasal 1 ayat (8).

Jadi, tidak harus di rumah sakit untuk melakukan karantina, di rumah sendiri juga bisa.

Pada pasal 2 huruf (a) ditegaskan bahwa kekarantinaan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan.

Oleh karena itu, tidak boleh siapapun melakukan kebijakan kekarantinaan secara semena-mena.

Pemaksaan terhadap seseorang, termasuk dalam konteks pemaksaan masuk ruang isolasi di rumah sakit, merupakan pelanggaran aturan hukum. Pemaksaan semacam ini masuk dalam kategori melanggar hak asasi manusia.

Hak Asasi Manusia merupakan hak yang diberikan Tuhan kepada setiap pribadi manusia sejak lahir.

Menurut pengertian di dalam Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999, bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Hak Asasi Manusia juga diatur pada pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya pasal 28 huruf G ayat (1) dan (2).

Pemerintah harus mengambil tindakan tegas terhadap oknum tim medis rumah sakit dimanapun di seluruh Indonesia yang melakukan pelanggaran hukum atau yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga masyarakat dalam melaksanakan tugas penanganan pandemi Covid-19.

Saat ini sebagian masyarakat sedang menghadapi suatu kondisi yang kurang baik karena merosotnya perekonomian, khususnya mereka yang kehilangan pekerjaan dan/atau karena usahanya tutup.

Oleh karena itu, jangan lagi masyarakat mengalami perlakuan yang tidak wajar di masa pandemi ini, khususnya di dalam penanganan pandemi Covid-19.

Kiranya Pemerintah dapat memberikan kelonggaran terhadap masyarakat yang belum memiliki rekam medis pasti terinfeksi virus Covid-19 untuk melakukan isolasi mandiri di rumah sendiri, dan tidak harus diisolasi di rumah sakit.

Faktanya, ada juga beberapa pasien yang sudah memiliki rekam medis terinfeksi Virus Covid-19, namun mereka diperbolehkan melakukan isolasi mandiri di rumah sendiri dan akhirnya sembuh.

Semoga pandemi Covid-19 segera berakhir dan Indonesia kembali ke keadaan normal seperti sediakala.

Oleh karenanya, mari kita segenap bangsa Indonesia mendukung Pemerintah untuk mengatasi persoalan pandemi Covid-19 agar cepat berakhir dan hilang dari bumi pertiwi yang kita cintai ini.

(DolfieR)

Hak Jawab

Hak Jawab Atas Artikel Wilson Lalengke Yang Berjudul “Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan”

BERIMBANG.com Jakarta – Hak Jawab Atas Artikel Wilson Lalengke Yang Berjudul “Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan”.

Kenalkan, saya Romlan, Pemimpin Redaksi Media Siber KABARBANGKA.COM, yang menjadi subjek percontohan dalam artikel Wilson Lalengke yang dimuat di media siber sebagaimana link berita terlampir, dengan judul Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan, yang dimuat pada tanggal 20-25 Desember 2019. Di sejumlah media siber, opini Wilson Lalengke itu sudah diubah menjadi opini redaksi medianya masing-masing. Ada juga redaksi media siber yang mengubah opini Wilson Lalengke itu menjadi berita, yang mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi.

MENANGGAPI opini Wilson Lalengke yang menyebutkan saya sebagai pemegang Sertifikat Wartawan Utama, justru menyebarkan berita bohong (hoax) menggunakan media www.kabarbangka.com. Saya minta Wilson Lalengke membuktikan tudingan itu. Tunjukkan buktinya, jika ada berita bohong (hoax) yang saya sebarkan menggunakan media www.kabarbangka.com. Bukti-bukti itu bisa dikirim ke saya via email: kabarbangka@gmail.com, atau via WhatsApp (WA): 081272881599. Ingat, ya! Berita bohong (hoax) yang ada di media www.kabarbangka.com! Catat itu!

Saya juga menegaskan, saya ini bukan lulusan UKW abal-abal. Saya dinyatakan KOMPETEN oleh penguji saya, M. Syahrir, yang ditugaskan oleh PWI Pusat, setelah saya mengikuti proses Uji Kompetensi Wartawan pada UKW-V PWI BABEL di Sungailiat,  Bangka Belitung, pada tanggal 5-6 Mei 2018. UKW juga bukan produk ilegal, karena Dewan Pers adalah lembaga resmi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Tentang saya yang “katanya” hanya jebolan SMP. Sepertinya Wilson Lalengke memang perlu belajar lagi pemahaman dan penerapan Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 1 angka (4) “Wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik”. Kemudian dipertegas oleh Pasal 4 ayat (1) “Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”.

Ada 21 pasal dalam Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, tidak satu pun pasal yang mengatur tentang standar minimal pendidikan wartawan. Demikian juga dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Kompetensi Wartawan, sebagaimana telah diperbarui dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Sertifikasi Wartawan, terbaru adalah Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Standar Kompetensi Wartawan, juga tidak mengatur standar minimal pendidikan wartawan calon peserta UKW.

Tidak ada aturan manapun yang mengatur standar minimal pendidikan formal seorang wartawan. Tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang untuk menjadi wartawan. Namun dalam melaksanakan tugasnya, wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai. Standar Kompetensi Wartawan diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar Kompetensi Wartawan juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan, bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan. Untuk mencapai standar kompetensi itu, wartawan harus mengikuti uji kompetensi di lembaga penguji yang sudah terverifikasi Dewan Pers, yaitu Perusahaan Pers, Organisasi Wartawan, Perguruan Tinggi atau Lembaga Pendidikan Jurnalistik.

Nah, Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI, adalah Organisasi Wartawan yang sudah resmi ditunjuk Dewan Pers sebagai Lembaga Penguji, untuk melaksanakan Uji Kompetensi Wartawan. (***)

Catatan saya (Wilson Lalengke):

1. Artikel lengkap yang menjadi obyek tulisan ‘hak jawab’ rekan Romlan ini dapat dilihat di www.pewarta-indonesia.com/2019/12/wilson-lalengke-lulus-ukw-tidak-menjamin-kompetensi-wartawan

2. Terkait berita hoax (bohong) dapat ditelusuri melalui artikel saya terdahulu dengan judul Ambiguitas Sertifikasi Wartawan dan Verifikasi Media, dimuat salah satunya di tautan ini: www.pewarta-indonesia.com/2019/12/ambiguitas-sertifikasi-wartawan-dan-verifikasi-media. Artikel hoax itu sudah dihapus oleh yang bersangkutan (Romlan) dari situsnya www.kabarbangka.com dan menggantinya dengan permintaan maaf kepada Kementerian Dalam Negeri yang menjadi obyek pemberitaan bohongnya terkait DOB. Demikian juga, artikel komplain Kemendagri terhadap pemberitaan hoax Romlan itu telah dihapus oleh Kemendagri dari situsnya.

3. Pada hakekatnya, UKW yang diselenggarakan di bawah kendali Dewan Pers itu yang abal-abal, bukan hanya UKW dan sertifikat UKW rekan Romlan. Segala hal ihwal kompetensi dan sertifikasi profesi mengacu kepada pasal 18 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sesuai UU ini, pelaksana sertifikasi kompetensi adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (lihat pasal 18 ayat 4), Jadi, jelas, UKW atau UKJ bukan kewenangan atau tupoksi Dewan Pers. UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tidak sedikitpun memberikan kewenangan (baik tersurat maupun tersirat) kepada Dewan Pers untuk menangani urusan kompetensi wartawan. Persoalan UKW ini menjadi salah satu poin gugatan PPWI bersama SPRI ke PN Jakarta Pusat, yang dimenangkan Dewan Pers. Namun, di tingkat banding, PT DKI Jakarta membatalkan Keputusan PN Jakarta Pusat itu dan menolak semua eksepsi Dewan Pers. Ini artinya, Dewan Pers harus sadar diri untuk segera menghentikan kebijakan pelaksanaan UKW – melalui LSP-LSP yang ditunjuknya – dan menyerahkan pengelolaannya ke BNSP sesuai ketentuan perundangan dan Peraturan Pemerintah yang ada.

4. Soal jenjang pendidikan SMP, Romlan benar sekali. Siapa saja boleh jadi wartawan, jurnalis, pewarta, dan sejenisnya. Namun, bukan soal jenjang pendidikan, yang jadi fokus bahasan saya UKW dan kompetensi.

Terima kasih.

(WL)

Opini

Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan

BERIMBANG.com Jakarta – Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan.

Oleh: Wilson Lalengke

Bukan latah. Tetapi faktanya para lulusan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) gagal menunjukkan kompetensinya dalam berkarya sebagai wartawan.

Minimal, mereka masih gagap dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis. Justru sebaliknya, tak terhitung banyaknya wartawan tanpa sertifikat UKW yang kinerjanya sangat profesional di berbagai media mainstream, baik di dalam maupun di luar negeri.

Banyak sekali contoh lulusan UKW tanpa kompetensi yang dapat ditemukan dimana-mana.

Sebut saja seorang wartawan di Bangka Belitung bernama Romlan. Romlan adalah pemegang Sertifikat Wartawan Utama yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers.

Romlan dinyatakan lulus UKW yang diadakan oleh PWI dan Dewan Pers.

Apa nyana, yang bersangkutan justru menjadi penyebar berita bohong (hoax). Media yang digunakannya untuk menyebarkan karya hoax, www.kabarbangka.com, itupun sudah juga terverifikasi Dewan Pers.

Hal ini semestinya tidak hanya menjadi preseden buruk yang memalukan, namun harus menjadi koreksi total bagi para pemangku kepentingan pers di Indonesia.

Program UKW itu adalah sesuatu yang amat keliru dan harus dihentikan.

Sayang sekali, Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri) yang menjadi obyek pemberitaan bohong sang wartawan, yang sedianya akan menyeret lulusan UKW abal-abal PWI dan Dewan Pers itu ke ranah hukum, harus berdamai dengan keadaan.

Kasus tersebut dinyatakan closed, diduga kuat demi menjaga marwah Dewan Pers, kaki tangan Pemerintah yang didanai APBN melalui Kementerian Kominfo.

Hasilnya, tautan berita terkait komplain Kemendagri atas pemberitaan jebolan SMP, Romlan, di Kabarbangka.com raib dari situs kemendagri.go.id.

Ada juga kasus UKW yang aneh bin ajaib. Seorang Zurinaldi, peserta UKW di Riau, dinyatakan tidak lulus UKW.

Bagaimana mungkin proses UKW itu dapat dipandang benar dan valid ketika peserta yang kompetensinya di bidang video editing itu diberikan materi ujian untuk kompetensi reporter?

Zurinaldi ini sudah menjalani profesinya sebagai video editing di sebuah perusahaan media periklanan di Singapore selama beberapa tahun sebelum “dipaksa” oleh media Riau Citra Televisi, tempatnya bekerja yang baru, mengikuti UKW sontoloyo tersebut.

Kembali ke pokok persoalan, mengapa UKW tidak menjamin kompetensi dalam menjalankan profesi sebagai wartawan?

Sama seperti di dunia pendidikan pada umumnya, kompetensi tidak ditentukan oleh ujian atau tes kelulusan.

Ujian hanya dilakukan untuk mengukur kemampuan kognitif seseorang.

Sementara kompetensi merupakan ranah afektif dan psikomotorik manusia. Kompetensi hanya dapat diukur menggunakan variabel competency assessment.

Asesmen Kompetensi itu mengacu kepada sistim pembelajaran yang fokus pada usaha menemukan kendala atau hambatan dan mencari alternatif pemecahan masalah terhadap kendala kompetensi dan kinerja seseorang.

Asesmen Kompetensi memandang bahwa semua orang sesungguhnya memiliki kompetensi atau kemampuan atau talenta.

Tidak seorangpun yang lahir ke dunia ini tanpa dibekali talenta oleh Sang Pencipta.

Nah, ketika kompetensi yang dimiliki seorang manusia tidak mewujud secara maksimal dalam kinerja kesehariannya, maka yang diperlukan adalah meng-asesmen kompetensi yang bersangkutan. Melalui asesmen kompetensi dapat dilihat berbagai hambatan yang dialami seseorang dalam menjalankan misinya, mewujudkan karya terbaiknya.

Ketika hambatan-hambatan telah diketahui, selanjutnya dapat dianalisis dan ditetapkan berbagai alternatif jalan keluar untuk mengatasi atau menyiasati kendala-kendala itu.

Sebagai unsur yang masuk ranah afektif dan psikomotorik, maka kompetensi seorang wartawan tidak hanya diukur dari sisi pengetahuan dan kemampuan menghasilkan karya jurnalistik.

Kompetensi kewartawanan seseorang semestinya dinilai secara kwalitatif dari sisi karakternya sebagai wartawan.

Idealisme kewartawanan yang meliputi: kejujuran, integritas, semangat pantang berputus asa, kepedulian sosial, dan ketulusan hati, harus menjadi karakter harga mati bagi seseorang wartawan.

Unsur-unsur inilah yang semestinya di-assesment dalam rangka meningkatkan profesionalitas setiap wartawan.

Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan RI, telah menghapus Ujian Nasional (UN) dan berbagai bentuk ujian bagi anak didik di semua jenis dan jenjang pendidikan.

Menurutnya, UN dan bermacam ujian itu tidak menjamin kompetensi seorang lulusan.

Nadiem juga dengan tegas menyatakan bahwa sertifikasi lembaga pendidikan tidak menjamin mutu lembaga penerima piagam-piagam sertifikasi.

Maka, seharusnya Dewan Pers bersama para penyelenggara UKW itu memiliki rasa malu untuk tetap memaksakan pelaksanaan UKW terhadap wartawan.

Bukan hanya karena tidak menjamin lulusannya memiliki kompetensi kewartawanan, tetapi lebih daripada itu,

UKW adalah produk ilegal Dewan Pers bersama organisasi pers kroni-kroninya. UKW adalah program akal-akalan Dewan Pers tanpa dasar hukum yang jelas. (*)

Penulis Wilson Lalengke adalah Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia. mengirimkan artikelnya kepada redaksi jumat 20 Desember 2019.

Artikel

Harun, ST Dapil Jabar V Kabupaten Bogor Berjuang Untuk Perubahan Indonesia

Profil

Status telah menikah dan dikarunia 4 orang anak, Harun terlahir dari keluarga sederhana yang mengedepankan kejujuran, serta keikhlasan dalam bermasyarakat

Pendidikan

S1 Teknik Sipil Universitas Mpu Tantular Jakarta

Visi

  • Menjadikan DPR RI yang bersih dari Korupsi dan memberdayakan ekonomi kerakyatan lewat koperasi dan UMKM di Desa Desa,
  • Serta penanganan sampah di kabupaten untuk Bogor kabupaten bersih dan termaju di Indonesia

Profesi :

  • Owner PT Media Swara Indonesia perusahaan yg bergerak di Media online dan cetak serta Digital Printing
  • Owner RM Nasi Uduk Mpo Sanah
  • Konsultan Perumahan semi Cluster di Kab Bogor
  • Ahli dalam bidang pekerjaan Beton Precast

Pengalaman

  • Direktur Bidang Usaha DPP IPJI 2019-2024
  • Dewan Pembina Ojek Online Cibinong Raya
  • Ketua IPJI Kab Bogor
  • Bendahara DPC Partai Garuda Kab Bogor
  • Sekjend DPP Pro Ade Yasin