Artikel

Artikel

Bukti Sejarah Kerajaan Galuh Memang Benar Ada

BERIMBANG.com – Budayawan Betawi Ridwan Saidi kembali membuat geger. Setelah sebelumnya menyebut Sriwijaya fiktif, kali ini giliran kerajaan di Jawa Barat yang disasar. Dalam video unggahan kanal YouTube “Macan Idealis”, Babe, panggilan akrab Ridwan Saidi, menyebut jika di Ciamis tidak ada kerajaan. Menurutnya daerah Ciamis tidak memiliki indikator eksistensi adanya kerajaan, yakni indikator ekonomi.

Babe mempertanyakan sumber penghasilan Ciamis untuk pembiayaan kerajaannya, mengingat daerah itu tidak memiliki pelabuhan dagang. Ia juga meragukan sumber-sumber tentang Ciamis yang sudah ditemukan, seperti bekas bangunan dan punden berundak. Hal tersebut, kata Babe, perlu diteliti karena bisa jadi itu bekas bangunan biasa atau hanya Kabuyutan (tempat berkumpul) saja.

“Sunda-Galuh saya kira agak keliru penamaan itu, karena Galuh artinya ‘brutal’,” ucapnya.

Ucapan Babe itu mendapat tanggapan yang beragam. Kalangan masyarakat Sunda, khususnya warga Ciamis, merasa pernyataan itu keliru. Ridwan Saidi dianggap telah menyebarkan informasi yang salah tentang sejarah. Mereka meminta Babe menarik ucapannya dan segera meminta maaf kepada masyarakat Ciamis.

Namun pada unggahan lain (14 Februari 2020), Ridwan Saidi mencoba mengklarifikasi ucapannya tentang sejarah Ciamis dan kerajaan Galuh. Ia membuka percakapan di dalam video tersebut dengan permintaan maaf atas kegaduhan yang dibuatnya.

“Saya tidak bermaksud membuat sensasi sejarah, tapi rekonstruksi sejarah. Kalau ini membuat heboh sementara pihak ya saya minta maaf, karena memang begitulah perjuangan untuk merekonstruksi sejarah dalam rangka persatuan Indonesia dan dalam rangka memotivasi generasi baru untuk maju ke depan menghadapi tantangan zaman,” ucapnya.

“Tetapi terus terang, kutipan dari (kamus) Armenian-English itu ga bisa saya ubah,” lanjut Ridwan Saidi. “Mengenai arti Galuh itu.”

Lantas apakah ucapan Ridwan Saidi tentang Galuh itu benar adanya?

Membuktikan Keberadaan Galuh
Pada 1970-an, para sejarawan yang tergabung dalam Tim Peneliti Sejarah Galuh berhasil mengumpulkan informasi terkait kedudukan Galuh dalam narasi sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Dalam laporan tahun 1972, Galuh Ciamis dan Tinjauan Sejarah, tim peneliti tersebut berhasil mengumpulkan nama-nama kerajaan yang masih berkaitan dengan Galuh.

Menurut Mumuh Muhsin Z, dalam Ciamis atau Galuh, kata “galuh” secara bahasa mengandung tiga makna. Pertama, kata galuh berasal dari bahasa Sansekerta galu, yang berarti “permata yang paling baik”. Kedua, kata galuh berasal dari kata aga, berarti “gunung” dan lwah, berarti “bengawan, sungai, laut”. Ketiga, kata galuh bisa dimaknai juga galeuh (bahasa Sunda) yang berarti “bagian di dalam pohon yang paling keras”.

“Arti-arti kata tersebut jelas sangat simbolis dan sarat muatan makna yang sangat dalam,” ucap sejarawan dari Universitas Padjadjaran itu.

Ada lebih dari 10 nama kerajaan yang terkait dengan Galuh. Lokasinya pun tidak hanya di Jawa Barat sebagai daerah yang diyakini sebagai wilayah kekuasaan kerajaan Galuh. Berikut beberapa di antaranya: Kerajaan Galuh Sindula, berlokasi di Lakbok, ibukota Medang Gili; Kerajaan Galuh Rahyang, berlokasi di Brebes, ibukota Medang Pangramesan; Galuh Kalangon, berlokasi di Roban, ibukota Medang Pangramesan; Galuh Lalean, berlokasi di Cilacap, ibukota Medang Kamulan; Galuh Pakuan, ibukota di Kawali; Galuh Kalingga, Galuh Tanduran, dan sebagainya.

Berdasar informasi tersebut para peneliti meyakini jika Galuh adalah sebuah kerajaan dengan ibukota yang berpindah-pindah. Mereka tidak menetap di satu wilayah saja. Sejalan dengan itu, Nugroho Notosusanto dan para peneliti sejarah, dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, juga menyebut Galuh sebagai pusat kerajaan yang berpindah.

“… maka nama Galuh, Pakuan Pajajaran, atau Pajajaran kemungkinan besar adalah nama pusat kerajaan yang telah mengalami perpindahan beberapa kali,” tulis Notosusanto.

Hasil penelusuran Notosusanto juga mendapati bahwa secara umum kerajaan di Jawa bagian barat, selepas runtuhnya kekuasaan Tarumanegara, hanya ada satu sebutan, yakni Sunda. Namun nama tersebut tidak terikat oleh satu kerajaan semata. Informasi itu didapat dari berbagai sumber, mulai dari prasasti, naskah, catatan perjalanan, dan keterangan bangsa asing yang pernah mengunjungi Tatar Sunda.

Prasasti tertua yang mengungkap hal tersebut adalah prasasti Rakryan Juru Pangambat, berangka tahun 932 Masehi, ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor. Prasasti lainnya ada Sang Hyang Tapak dan Sang Hyang Tapak II, berangka tahun 1030 Masehi. Sedangkan Carita Parahiyangan (akhir abad ke-16) menyebut Sunda sebagai nama kawasan. Berita Cina, dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, pada zaman dinasti Ming juga menyebut adanya penguasa bernama Sun-la.

“Dari bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah Jawa Barat sebenarnya umum dikenal dengan nama Sunda. Sedang nama-nama lain yang berhubungan juga dengan daerah ini adalah nama pusat kerajaan atau ibukota. Misalnya Galuh yang berkali-kali disebutkan dalan Carita Parahiyangan,” ungkap Notosusanto.

Sementara sejarawan Sunda Nina H. Lubis dalam Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat, mengungkapkan jika penyebutan nama kerajaan di dalam sumber sejarah bisa saja berubah-ubah. Terutama karena adanya kebiasaan dari negara-negara di Asia Tenggara untuk menyebut nama kerajaan dengan nama ibukotanya.

“Jadi kalau sebuah sumber menyebut nama kerajaan Galuh, itu bisa berarti kerajaan Sunda yang beribukota di Galuh,” ucapnya.

Berdirinya Kerajaan Galuh
Untuk membuktikan secara historis kapan kerajaan Galuh berdiri, keberadaan prasasti dan berita-berita sezaman amat penting. Ada beberapa prasasti yang memuat informasi mengenai Galuh, meski sebagian ditemukan tanpa penjelasan tentang lokasi dan waktunya. Dalam prasasti berangka tahun 910, seorang raja bernama Balitung disebut sebagai “Rakai Galuh”. Dalam prasasti Siman, berangka tahun 943, terdapat nama Galuh yang berkuasa atas sebuah wilayah.

Sementara pada naskah Carita Parahiyangan, dalam Carita Parahiyangan: Naskah Tititlar Karuhun Urang Sunda abad ka-16, kisah tentang kerajaan Galuh dimulai ketika era politik kerajaan Tarumanegara di Tatar Sunda berakhir. Ketika para penguasa bekas Tarumanegara mendirikan Sunda, beberapa orang menolak bergabung. Di bawah pimpinan Wretikendayun, mereka pun akhirnya mendirikan kerajaan yang kemudian berpusat di Galuh (Ciamis) pada abad ke-7.

Menurut sejarawan Sunda Budimansyah, Wretikendayun dan penerus kerajaan Tarumanegara, Trarusbawa, sepakat membagi wilayah Tatar Sunda menjadi dua bagian dengan batas kekuasaan di Sungai Citarum. Hal itu dilakukan untuk menghindarkan kedua kerajaan itu dari pertikaian dan kepentingan politik lainnya.

“Citarum ke arah timur, sampai Ciserayu di selatan dan Cipamali di utara, menjadi wilayah kerajaan Galuh. Lalu dari Citarum ke arah barat menjadi wilayah kerajaan Sunda. Jadi Galuh dan Sunda (Pakuan Pajajaran) lahir secara bersamaan,” ucap Budiansyah kepada Historia.

Di dalam naskah Carita Parahiyangan juga diceritakan tentang raja-raja yang pernah berkuasa di Galuh. Termasuk intrik yang terjadi antara para penguasa Galuh. Seperti cerita tentang Raja Sena, penguasa ke-4 Galuh yang dikalahkan oleh Rahyang Purbasora, saudaranya sendiri. Akibatnya Sena diasingkan ke Gunung Merapi bersama keluarganya. Beberapa tahun kemudian penerus Sena, Sanjaya, berhasil membalaskan dendam pendahulunya.

Nama Galuh sebagai pusat kerajaan disebut berkali-kali dalam Carita Parahiyangan. Nama-nama tempat yang disebutkan di naskah ini juga umumnya terletak di Jawa Barat bagian timur, yang merupakan wilayah Galuh sesuai perjanjian dengan penerus Tarumanegara. Jadi, kata Nina, dapat disimpulkan bahwa pada abad ke-8 M pernah ada Raja Sanjaya yang berkuasa di Galuh.

 

Artikel

Kenang Jasa Pejuang Kemerdekaan, Jas Merah: “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”

BERIMBANG, COM, BOGOR – Indonesia akan memperingati kemerdekaan yang ke-75, tahun ini. Meski di tengah keterbatasan karena pandemik COVID-19, kemerdekaan selayaknya juga digunakan untuk mengenang para pejuang kemerdekaan yang ikut berjuang demi negeri ini.

Tak semua tokoh pejuang terkenal dan masuk daftar “Pahlawan Nasional”. Beberapa dari mereka bahkan tanpa gelar.

Demikian dikatakan R. Andi Suwandi, anak dari seorang pejuang kemerdekaan. Ayahnya, R.HM. Syamsudin, merupakan salah satu tokoh pejuang kemerdekaan.

“Pada masa perjuangan, dulu ayah saya sering menceritakan dimana pada masa itu berjuang dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, tidak mudah untuk meraihnya. Waktu itu, ayah saya di pasukan Siliwangi, selain ikut berperang juga melakukan pengawalan terhadap presiden Soekarno,” kata R. Andi Suwandi, Jum’at (14/8/2020).

Selain tak bergelar pahlawan nasional. Lanjutnya, beberapa tokoh pejuang bahkan tak banyak dikisahkan. Meski demikian, bangsa ini tidak boleh menafikkan peran mereka.

“Tanpa atau dengan gelar, perjuangan mereka dalam memerdekakan Indonesia tetap harus diapresiasi dan diteladani,” ujar Andy Djava panggilan akrabnya.

Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, jasa-jasa para pejuang kemerdekaan menjadi poin penting yang tak boleh dilupakan begitu Saja. Menurutnya, Peran mereka (pejuang-red), bagi bangsa ini amatlah besar.

“Presiden Indonesia pertama, Ir Soekarno pernah menyebutkan istilah jas Merah: ‘jangan sekali-kali melupakan sejarah’ untuk memberikan penghargaan tertinggi kepada mereka para pejuang kemerdekaan,” pungkasnya.

(Yosep/Annisa)

Artikel

Pisang Unik Berbuah Dua Tandan Ditemukan Di Pondok Rajeg

BERIIMBANG.com, Cibinong – Pohon pisang pada umumnya hanya berbuah satu tandan. Namun di Kampung Cipayung, Kelurahan Pondok Rajeg, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, terdapat sebuah pohon pisang ajaib dengan dua buah tandan.

Pohon pisang ajaib itu tumbuh di pekarangan rumah milik Idris (45). Pohon tersebut terlihat berbeda dibandingkan pohon pisang lain di sekitarnya.

Salah satu warga Rawadenok, Depok, Bahrudin sedang menyaksikan keunikan pohon pisang berbuah dua tandan ( Foto : Ist).

Dengan tinggi sekira tiga meter, pohon ini berjenis pisang ambon lumut. Buahnya menjadi lebih banyak karena menghasilkan dua tandan sekaligus.

Idris, pemilik pohon pisang ajaib mengatakan, baru menyadari adanya keanehan pohon pisang tersebut ketika mulai berbuah pada awal Juli 2020. Waktu itu baru keliatan satu tandan dan tidak lama berselang muncul satu tandan lagi seperti sekarang.

“Pohon pisang ini sudah ditanam sejak satu tahun lalu. dan tidak menunjukan keanehan , sama seperti pohon pisang lainnya, ” ujar Idris. Minggu ( 9/8).

Menurut Idris, setiap tahun pohon-pohon tersebut selalu menghasilkan buah. Baru kali ini pohon pisang bisa berbuah hingga tiga tandan.

“Tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Padahal dari perawatan, ya biasa aja dan hanya rutin dipupuk,” ungkapnya.

Sebelum berbuah dua tandan, Idris juga mengatakan pernah berbuah sampai tiga tandan , sebelum berbuah dua tandan yang sekarang ini.

Ia tidak berencana menjual pisang ini ketika sudah matang. Pisang tersebut akan dibagikan kepada warga sekitar.

Kelangkaan pohon pisang ini menarik perhatian masyarakat. Mereka sengaja datang ke rumah Idris hanya untuk melihat langsung pohon pisang tersebut dan mengabadikan untuk diunggah di media sosial.dan Grup Whattsap.

Beberapa teman teman reuni STM Madex , salah satunya Ali Cemong mengaku baru kali ini melihat pisang bertandan dua.

“Foto untuk status saja karena penasaran. belum pernah melihat dan saat saya baru main kesini dalam rangka menghadiri reuni dan kebetulan pohon pisang unik itu ada di oekarangan rumah Idris yang dijadikan tempat untuk reuni ,” ujar Ali.

Iik

JakartaOpini

Mewaspadai Perampasan Hak Asasi Manusia di Tengah Pandemi Covid-19

BERIMBANG.com Oleh: Dolfie Rompas

Di tengah upaya Pemerintah menangani pandemi Covid-19, beredar juga isu tentang ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan yang dilakukan oleh beberapa oknum tim medis dalam menangani pandemik ini di berbagai rumah sakit yang ada.

Banyak warga masyarakat yang merasa tidak puas dan keberatan karena mengalami semacam tindakan pemaksaan, antara lain saat akan diisolasi di rumah sakit hanya berdasarkan hasil dugaan atau kekuatiran kemungkinan akan terpapar Virus Covid-19.

Pada kasus lain, juga terjadi pemaksaan oleh pihak oknum tim medis terhadap jenazah orang yang wafat karena penyakit non Covid-19 untuk dikuburkan mengikuti protokol pemakaman jenazah Covid-19.

Masyarakat tidak bisa menguburkan keluarganya yang meninggal, hanya karena dugaan-dugaan si mayat terinfeksi Virus Covid-19.

Padahal, mereka (pasien dan jenazah – red) belum memiliki rekam medis yang secara pasti menyatakan bahwa mereka telah terinfeksi Covid-19.

Ada juga warga yang ingin melakukan isolasi mandiri di rumah sendiri, namun mengalami kesulitan. Pihak oknum rumah sakit tetap memaksakan yang bersangkutan untuk diisolasi di rumah sakit tersebut.

Sangat jelas diatur di dalam UU Republik Indonesia No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya Bab 1 pasal 1 ayat (7) mengatakan bahwa yang dimaksud isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang sehat.

Jadi, seseorang yang diisolasi harus benar-benar sakit, bukan baru diduga akan sakit, atau yang sudah memiliki rekam medis bahwa orang tersebut benar-benar telah terinfeksi penyakit Virus Covid-19.

Masyarakat juga bisa melakukan karantina di rumah sendiri jika diduga terinfeksi suatu penyakit sebagaimana yang diatur pada pasal 1 ayat (8).

Jadi, tidak harus di rumah sakit untuk melakukan karantina, di rumah sendiri juga bisa.

Pada pasal 2 huruf (a) ditegaskan bahwa kekarantinaan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan.

Oleh karena itu, tidak boleh siapapun melakukan kebijakan kekarantinaan secara semena-mena.

Pemaksaan terhadap seseorang, termasuk dalam konteks pemaksaan masuk ruang isolasi di rumah sakit, merupakan pelanggaran aturan hukum. Pemaksaan semacam ini masuk dalam kategori melanggar hak asasi manusia.

Hak Asasi Manusia merupakan hak yang diberikan Tuhan kepada setiap pribadi manusia sejak lahir.

Menurut pengertian di dalam Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999, bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Hak Asasi Manusia juga diatur pada pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya pasal 28 huruf G ayat (1) dan (2).

Pemerintah harus mengambil tindakan tegas terhadap oknum tim medis rumah sakit dimanapun di seluruh Indonesia yang melakukan pelanggaran hukum atau yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga masyarakat dalam melaksanakan tugas penanganan pandemi Covid-19.

Saat ini sebagian masyarakat sedang menghadapi suatu kondisi yang kurang baik karena merosotnya perekonomian, khususnya mereka yang kehilangan pekerjaan dan/atau karena usahanya tutup.

Oleh karena itu, jangan lagi masyarakat mengalami perlakuan yang tidak wajar di masa pandemi ini, khususnya di dalam penanganan pandemi Covid-19.

Kiranya Pemerintah dapat memberikan kelonggaran terhadap masyarakat yang belum memiliki rekam medis pasti terinfeksi virus Covid-19 untuk melakukan isolasi mandiri di rumah sendiri, dan tidak harus diisolasi di rumah sakit.

Faktanya, ada juga beberapa pasien yang sudah memiliki rekam medis terinfeksi Virus Covid-19, namun mereka diperbolehkan melakukan isolasi mandiri di rumah sendiri dan akhirnya sembuh.

Semoga pandemi Covid-19 segera berakhir dan Indonesia kembali ke keadaan normal seperti sediakala.

Oleh karenanya, mari kita segenap bangsa Indonesia mendukung Pemerintah untuk mengatasi persoalan pandemi Covid-19 agar cepat berakhir dan hilang dari bumi pertiwi yang kita cintai ini.

(DolfieR)

Hak Jawab

Hak Jawab Atas Artikel Wilson Lalengke Yang Berjudul “Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan”

BERIMBANG.com Jakarta – Hak Jawab Atas Artikel Wilson Lalengke Yang Berjudul “Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan”.

Kenalkan, saya Romlan, Pemimpin Redaksi Media Siber KABARBANGKA.COM, yang menjadi subjek percontohan dalam artikel Wilson Lalengke yang dimuat di media siber sebagaimana link berita terlampir, dengan judul Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan, yang dimuat pada tanggal 20-25 Desember 2019. Di sejumlah media siber, opini Wilson Lalengke itu sudah diubah menjadi opini redaksi medianya masing-masing. Ada juga redaksi media siber yang mengubah opini Wilson Lalengke itu menjadi berita, yang mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi.

MENANGGAPI opini Wilson Lalengke yang menyebutkan saya sebagai pemegang Sertifikat Wartawan Utama, justru menyebarkan berita bohong (hoax) menggunakan media www.kabarbangka.com. Saya minta Wilson Lalengke membuktikan tudingan itu. Tunjukkan buktinya, jika ada berita bohong (hoax) yang saya sebarkan menggunakan media www.kabarbangka.com. Bukti-bukti itu bisa dikirim ke saya via email: kabarbangka@gmail.com, atau via WhatsApp (WA): 081272881599. Ingat, ya! Berita bohong (hoax) yang ada di media www.kabarbangka.com! Catat itu!

Saya juga menegaskan, saya ini bukan lulusan UKW abal-abal. Saya dinyatakan KOMPETEN oleh penguji saya, M. Syahrir, yang ditugaskan oleh PWI Pusat, setelah saya mengikuti proses Uji Kompetensi Wartawan pada UKW-V PWI BABEL di Sungailiat,  Bangka Belitung, pada tanggal 5-6 Mei 2018. UKW juga bukan produk ilegal, karena Dewan Pers adalah lembaga resmi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Tentang saya yang “katanya” hanya jebolan SMP. Sepertinya Wilson Lalengke memang perlu belajar lagi pemahaman dan penerapan Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 1 angka (4) “Wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik”. Kemudian dipertegas oleh Pasal 4 ayat (1) “Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”.

Ada 21 pasal dalam Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, tidak satu pun pasal yang mengatur tentang standar minimal pendidikan wartawan. Demikian juga dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Kompetensi Wartawan, sebagaimana telah diperbarui dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Sertifikasi Wartawan, terbaru adalah Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Standar Kompetensi Wartawan, juga tidak mengatur standar minimal pendidikan wartawan calon peserta UKW.

Tidak ada aturan manapun yang mengatur standar minimal pendidikan formal seorang wartawan. Tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang untuk menjadi wartawan. Namun dalam melaksanakan tugasnya, wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai. Standar Kompetensi Wartawan diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar Kompetensi Wartawan juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan, bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan. Untuk mencapai standar kompetensi itu, wartawan harus mengikuti uji kompetensi di lembaga penguji yang sudah terverifikasi Dewan Pers, yaitu Perusahaan Pers, Organisasi Wartawan, Perguruan Tinggi atau Lembaga Pendidikan Jurnalistik.

Nah, Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI, adalah Organisasi Wartawan yang sudah resmi ditunjuk Dewan Pers sebagai Lembaga Penguji, untuk melaksanakan Uji Kompetensi Wartawan. (***)

Catatan saya (Wilson Lalengke):

1. Artikel lengkap yang menjadi obyek tulisan ‘hak jawab’ rekan Romlan ini dapat dilihat di www.pewarta-indonesia.com/2019/12/wilson-lalengke-lulus-ukw-tidak-menjamin-kompetensi-wartawan

2. Terkait berita hoax (bohong) dapat ditelusuri melalui artikel saya terdahulu dengan judul Ambiguitas Sertifikasi Wartawan dan Verifikasi Media, dimuat salah satunya di tautan ini: www.pewarta-indonesia.com/2019/12/ambiguitas-sertifikasi-wartawan-dan-verifikasi-media. Artikel hoax itu sudah dihapus oleh yang bersangkutan (Romlan) dari situsnya www.kabarbangka.com dan menggantinya dengan permintaan maaf kepada Kementerian Dalam Negeri yang menjadi obyek pemberitaan bohongnya terkait DOB. Demikian juga, artikel komplain Kemendagri terhadap pemberitaan hoax Romlan itu telah dihapus oleh Kemendagri dari situsnya.

3. Pada hakekatnya, UKW yang diselenggarakan di bawah kendali Dewan Pers itu yang abal-abal, bukan hanya UKW dan sertifikat UKW rekan Romlan. Segala hal ihwal kompetensi dan sertifikasi profesi mengacu kepada pasal 18 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sesuai UU ini, pelaksana sertifikasi kompetensi adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (lihat pasal 18 ayat 4), Jadi, jelas, UKW atau UKJ bukan kewenangan atau tupoksi Dewan Pers. UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tidak sedikitpun memberikan kewenangan (baik tersurat maupun tersirat) kepada Dewan Pers untuk menangani urusan kompetensi wartawan. Persoalan UKW ini menjadi salah satu poin gugatan PPWI bersama SPRI ke PN Jakarta Pusat, yang dimenangkan Dewan Pers. Namun, di tingkat banding, PT DKI Jakarta membatalkan Keputusan PN Jakarta Pusat itu dan menolak semua eksepsi Dewan Pers. Ini artinya, Dewan Pers harus sadar diri untuk segera menghentikan kebijakan pelaksanaan UKW – melalui LSP-LSP yang ditunjuknya – dan menyerahkan pengelolaannya ke BNSP sesuai ketentuan perundangan dan Peraturan Pemerintah yang ada.

4. Soal jenjang pendidikan SMP, Romlan benar sekali. Siapa saja boleh jadi wartawan, jurnalis, pewarta, dan sejenisnya. Namun, bukan soal jenjang pendidikan, yang jadi fokus bahasan saya UKW dan kompetensi.

Terima kasih.

(WL)

Opini

Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan

BERIMBANG.com Jakarta – Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan.

Oleh: Wilson Lalengke

Bukan latah. Tetapi faktanya para lulusan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) gagal menunjukkan kompetensinya dalam berkarya sebagai wartawan.

Minimal, mereka masih gagap dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis. Justru sebaliknya, tak terhitung banyaknya wartawan tanpa sertifikat UKW yang kinerjanya sangat profesional di berbagai media mainstream, baik di dalam maupun di luar negeri.

Banyak sekali contoh lulusan UKW tanpa kompetensi yang dapat ditemukan dimana-mana.

Sebut saja seorang wartawan di Bangka Belitung bernama Romlan. Romlan adalah pemegang Sertifikat Wartawan Utama yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers.

Romlan dinyatakan lulus UKW yang diadakan oleh PWI dan Dewan Pers.

Apa nyana, yang bersangkutan justru menjadi penyebar berita bohong (hoax). Media yang digunakannya untuk menyebarkan karya hoax, www.kabarbangka.com, itupun sudah juga terverifikasi Dewan Pers.

Hal ini semestinya tidak hanya menjadi preseden buruk yang memalukan, namun harus menjadi koreksi total bagi para pemangku kepentingan pers di Indonesia.

Program UKW itu adalah sesuatu yang amat keliru dan harus dihentikan.

Sayang sekali, Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri) yang menjadi obyek pemberitaan bohong sang wartawan, yang sedianya akan menyeret lulusan UKW abal-abal PWI dan Dewan Pers itu ke ranah hukum, harus berdamai dengan keadaan.

Kasus tersebut dinyatakan closed, diduga kuat demi menjaga marwah Dewan Pers, kaki tangan Pemerintah yang didanai APBN melalui Kementerian Kominfo.

Hasilnya, tautan berita terkait komplain Kemendagri atas pemberitaan jebolan SMP, Romlan, di Kabarbangka.com raib dari situs kemendagri.go.id.

Ada juga kasus UKW yang aneh bin ajaib. Seorang Zurinaldi, peserta UKW di Riau, dinyatakan tidak lulus UKW.

Bagaimana mungkin proses UKW itu dapat dipandang benar dan valid ketika peserta yang kompetensinya di bidang video editing itu diberikan materi ujian untuk kompetensi reporter?

Zurinaldi ini sudah menjalani profesinya sebagai video editing di sebuah perusahaan media periklanan di Singapore selama beberapa tahun sebelum “dipaksa” oleh media Riau Citra Televisi, tempatnya bekerja yang baru, mengikuti UKW sontoloyo tersebut.

Kembali ke pokok persoalan, mengapa UKW tidak menjamin kompetensi dalam menjalankan profesi sebagai wartawan?

Sama seperti di dunia pendidikan pada umumnya, kompetensi tidak ditentukan oleh ujian atau tes kelulusan.

Ujian hanya dilakukan untuk mengukur kemampuan kognitif seseorang.

Sementara kompetensi merupakan ranah afektif dan psikomotorik manusia. Kompetensi hanya dapat diukur menggunakan variabel competency assessment.

Asesmen Kompetensi itu mengacu kepada sistim pembelajaran yang fokus pada usaha menemukan kendala atau hambatan dan mencari alternatif pemecahan masalah terhadap kendala kompetensi dan kinerja seseorang.

Asesmen Kompetensi memandang bahwa semua orang sesungguhnya memiliki kompetensi atau kemampuan atau talenta.

Tidak seorangpun yang lahir ke dunia ini tanpa dibekali talenta oleh Sang Pencipta.

Nah, ketika kompetensi yang dimiliki seorang manusia tidak mewujud secara maksimal dalam kinerja kesehariannya, maka yang diperlukan adalah meng-asesmen kompetensi yang bersangkutan. Melalui asesmen kompetensi dapat dilihat berbagai hambatan yang dialami seseorang dalam menjalankan misinya, mewujudkan karya terbaiknya.

Ketika hambatan-hambatan telah diketahui, selanjutnya dapat dianalisis dan ditetapkan berbagai alternatif jalan keluar untuk mengatasi atau menyiasati kendala-kendala itu.

Sebagai unsur yang masuk ranah afektif dan psikomotorik, maka kompetensi seorang wartawan tidak hanya diukur dari sisi pengetahuan dan kemampuan menghasilkan karya jurnalistik.

Kompetensi kewartawanan seseorang semestinya dinilai secara kwalitatif dari sisi karakternya sebagai wartawan.

Idealisme kewartawanan yang meliputi: kejujuran, integritas, semangat pantang berputus asa, kepedulian sosial, dan ketulusan hati, harus menjadi karakter harga mati bagi seseorang wartawan.

Unsur-unsur inilah yang semestinya di-assesment dalam rangka meningkatkan profesionalitas setiap wartawan.

Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan RI, telah menghapus Ujian Nasional (UN) dan berbagai bentuk ujian bagi anak didik di semua jenis dan jenjang pendidikan.

Menurutnya, UN dan bermacam ujian itu tidak menjamin kompetensi seorang lulusan.

Nadiem juga dengan tegas menyatakan bahwa sertifikasi lembaga pendidikan tidak menjamin mutu lembaga penerima piagam-piagam sertifikasi.

Maka, seharusnya Dewan Pers bersama para penyelenggara UKW itu memiliki rasa malu untuk tetap memaksakan pelaksanaan UKW terhadap wartawan.

Bukan hanya karena tidak menjamin lulusannya memiliki kompetensi kewartawanan, tetapi lebih daripada itu,

UKW adalah produk ilegal Dewan Pers bersama organisasi pers kroni-kroninya. UKW adalah program akal-akalan Dewan Pers tanpa dasar hukum yang jelas. (*)

Penulis Wilson Lalengke adalah Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia. mengirimkan artikelnya kepada redaksi jumat 20 Desember 2019.

Artikel

Harun, ST Dapil Jabar V Kabupaten Bogor Berjuang Untuk Perubahan Indonesia

Profil

Status telah menikah dan dikarunia 4 orang anak, Harun terlahir dari keluarga sederhana yang mengedepankan kejujuran, serta keikhlasan dalam bermasyarakat

Pendidikan

S1 Teknik Sipil Universitas Mpu Tantular Jakarta

Visi

  • Menjadikan DPR RI yang bersih dari Korupsi dan memberdayakan ekonomi kerakyatan lewat koperasi dan UMKM di Desa Desa,
  • Serta penanganan sampah di kabupaten untuk Bogor kabupaten bersih dan termaju di Indonesia

Profesi :

  • Owner PT Media Swara Indonesia perusahaan yg bergerak di Media online dan cetak serta Digital Printing
  • Owner RM Nasi Uduk Mpo Sanah
  • Konsultan Perumahan semi Cluster di Kab Bogor
  • Ahli dalam bidang pekerjaan Beton Precast

Pengalaman

  • Direktur Bidang Usaha DPP IPJI 2019-2024
  • Dewan Pembina Ojek Online Cibinong Raya
  • Ketua IPJI Kab Bogor
  • Bendahara DPC Partai Garuda Kab Bogor
  • Sekjend DPP Pro Ade Yasin
ArtikelBerita Utama

Kades Wates Jaya Suport Pada Acara Maulid Nabi Di Kampung Bojong Kiharib

BERIMBANG.COM, Bogor- Warga Masyarakat Bojong Kiharib meriahkan acara peringatan Maulid Nabi Muhamad SAW, dengan mengadakan Pawai Obor dan Sholawat bersama, serta menghadirkan penceramah Ust. Taufiqurrahman, S.Q (Ustad Pantun) asal Cimanggu City Bogor.

Acara peringatan maulid Nabi tersebut di hadiri langsung oleh Kepala Desa beserta staf-stafnya, Babinkantibmas, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Pemuda, serta Masyarakat Bojong, yang bertempat di Masjid Jami Nurul Huda, Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, senin (3/12/18) malam

Ketua Panitia Acara, M. Aldi Subagja mengatakan, Berjalannya acara Maulid ini mendapatkan dukungan penuh dari Kepala Desa Wates Jaya serta Para Tokoh Masyarakat Bojong Kiharib

"Dalam acara peringatan Maulid Nabi pada tahun ini kita bentuk panitia kusus dari pemuda, hal ini atas petunjuk langsung dari Kades Baru Wates Jaya, Bapak Rudi Irawan serta masyarakat. Pak Kades sangat antusias dan bener-benar mensuport pada acara ini sehingga persiapan awal sampe akhir beliau yang mensuport dan beliau juga menghadiri sampai acara selesi," ujar Ketua Panitia Kepada Wartawan.

Baru pertama kalinya Pemuda menjadi Panitia dalam acara Maulid Nabi. Alhamdulilah acara ini berjalan lancar, sekses, dan meriah. 

"Dengan memperingati Maulid Nabi Muhamad SAW ini, semoga akan terus meningkatkan ketaqwaan Iman kepada Allah SWT dan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW, dan bertujuan mempererat sara persatuan yang berpedoman 
pasa sitaf-sifat Sarulullah," pungkasnya.

(Na)

ArtikelBerita Utama

Pemkab Bogor Ucapkan Selamat Hari Bhakti Adhyaksa ke-58  Tahun 2018

Pimpinan beserta segenap jajaran

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR

                                                                                        

                                                                                              Mengucapkan :

                                      

Selamat Hari Bhakti Adhyaksa ke-58  Tahun 2018

 

“Berkarya  dan Berbakti Sepenuh Hati Menjaga Negeri”

 

Dengan Hari Bhakti Adhyaksa ke-58 tahun 2018

Memulihkan Kepercayaan Masyarakat Melalui Konsolidasi, Evaluasi, Introspeksi Diri, Optimalisasi dan Peningkatan Dedikasi

BUPATI BOGOR
  
SEKRETARIS DAERAH

Artikel

Rebutan Hak Asuh Anak Dimenangkan Suami

BERIMBANG.COM – Kasus cerai berlanjut rebutan hak asuh, kerapkali terjadi di Indonesia, salah satu contoh yang terjadi di Ibukota, tepatnya Jakarta Timur, antara Eko Agus Sunanto (pemohon) melawan Dina Sofi Yuniarti (termohon). 

Telah diputus pengadilan pada tanggal 8 Nopember 2017. permohonan cerai talak dan hak hadhanah dalam perkara Perdata Nomor 1476/Pdt.G/2017/PAJT, dimenangkan oleh pemohon Eko Agus Sunanto. 

Insank Nasruddin, SH. selaku kuasa hukum Eko Agus Sunanto menanggapi serta mengapresiasi putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur, Jalan Raya PKP No. 24 Kelapa Dua Wetan Ciracas Jakarta Timur, Rabu (8/11/2017)

"Bahwa dalam putusan perkara tersebut yang sangat mendasar yaitu hak pengasuhan anak yang belum mumayyiz /belum berumur 12 tahun diberikan hak pemeliharaan kepada ayah kandungnya (pemohon), merupakan keputusan yang sangat tepat, adil dan bijaksana," terang Insank seusai sidang.

Lanjutnya "bahwa pasal 105 hurup a Kompilasi Hukum Islam 'Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya' itu tepat diterapkan apabila sang ibu dalam kondisi normal atau tidak memiliki perbuatan tercela," papar Insank. 

"Akan tetapi apabila sebaliknya sang ibu dapat dibuktikan memiliki record perbuatan buruk dan dikhawatirkan dapat merusak tumbuh kembang  anak baik secara fisik maupun mental dimasa depan maka hak pemeliharaan anak dapat diberikan kepada ayah kandungnya yang berkelakuan baik," ujar insank 

"Sehingga eksistensi pasal 105 hurup (a) KHI bukanlah merupakan pasal yang kaku tanpa pengecualian namun dapat dikesampingkan jika terbukti ibu kandung berkelakuan buruk, hal itu senada dengan kandungan pasal 49 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 Tentang perkawinan," terang Insank. 

"Saya sangat mengapresiasi putusan pengadilan, dalam pemeriksaan perkara yang cukup panjang dan berterimakasih kepada majelis hakim pemeriksa perkara yang mampu menilai secara objektif dan melihat secara komprehensif fakta persidangan, selanjutnya memberikan keputusan yang berkeadilan bagi para pihak," puji insank. 

"Pengadilan Agama Jakarta Timur tidak tradisional dalam menerapkan hukum, artinya dalam memberikan keputusan hukum Majelis hakim berpedoman pada fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan tidak kaku dalam menapsirkan hukum  khususnya dalam makna pasal 105 hurup a KHI," Insank menutupnya. (Tengku YusRizal)