Opini

Opini

Depok Dan Sindrom Loyalitas Ketika Birokrasi Jadi Alat Politik Kekuasaan

 

“Dalam birokrasi yang dikendalikan loyalitas, profesionalisme hanyalah jargon, dan jabatan berubah jadi upeti politik.”
Juli Efendi

Anatomi Kekuasaan Lokal yang Melukai Akal Sehat

Dugaan maladministrasi dalam pengangkatan pejabat di Pemerintah Kota Depok bukan sekadar kesalahan prosedural. Ia adalah gejala penyakit lama yang terus menular dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya: jabatan dijadikan alat balas budi politik.

Laporan Lembaga Peduli Hukum Indonesia (LPHI) Jawa Barat ke Ombudsman RI menyingkap pola klasik: pejabat naik jabatan bukan karena kompetensi, melainkan kedekatan.
Fenomena ini menegaskan betapa jauh kita telah bergeser dari semangat reformasi birokrasi menuju budaya “asal loyal, asal naik.”


Pemimpin yang Tak Tega, Tapi Juga Tak Tegas

Wali Kota Depok, Dr. Supian Suri, M.Si., kini berada di titik ujian integritas. Ia bisa memilih menjadi pemimpin yang tegas menegakkan aturan, atau pemimpin yang lemah menghadapi tekanan politik di sekitarnya.

Banyak kepala daerah di Indonesia jatuh ke dalam perangkap serupa — lebih takut kehilangan dukungan politik daripada kehilangan kepercayaan rakyat.
Dan ketika ketegasan digantikan oleh kompromi, maka birokrasi pun kehilangan arah.

“Ketidaktegasan seorang pemimpin melahirkan budaya impunitas dalam birokrasi.”


Birokrasi Tanpa Integritas, Pelayanan Publik Tersandera

Ketika pejabat diangkat tanpa dasar kompetensi, jangan berharap pelayanan publik berjalan baik.
Birokrasi akan macet, keputusan publik tersandera, dan warga menjadi korban.

Depok seharusnya menjadi model kota modern yang mengutamakan meritokrasi. Namun, praktik pengangkatan pejabat tanpa memenuhi syarat justru mengembalikan kota ini ke era lama: birokrasi yang disetir oleh koneksi, bukan prestasi.


Ombudsman dan Tanggung Jawab Moral Negara

Kini giliran Ombudsman Republik Indonesia untuk membuktikan keberpihakannya kepada publik.
Lembaga itu tak boleh sekadar memeriksa administrasi — ia harus menelusuri akar kekuasaan yang melahirkan penyimpangan ini.

Kasus Depok bisa menjadi cermin nasional: apakah kita sungguh menegakkan meritokrasi, atau hanya memeliharanya di atas kertas?


Jabatan Adalah Amanah, Bukan Milik

Jabatan publik bukanlah milik pribadi, melainkan amanah konstitusi.
Ketika jabatan dijadikan hadiah untuk loyalitas politik, maka sesungguhnya kita sedang menjual kepercayaan rakyat dengan harga murah.

Depok bisa berubah — tapi hanya jika pemimpinnya berani menegakkan keadilan administratif tanpa pandang bulu.
Reformasi birokrasi tidak akan lahir dari seminar dan slogan, melainkan dari keberanian seorang kepala daerah menolak loyalitas yang buta.


“Birokrasi yang sehat tidak lahir dari orang-orang dekat, tapi dari orang-orang tepat.”
Juli Efendi

Penulis : Juli Efendi

Opini

Ketua Panitia Jadi Juara: Kontes Batu Akik Depok dan Bayangan Konflik Kepentingan

BERIMBANG.com, Depok – Kontes Batu Akik Nusantara di Depok yang memperebutkan Piala Wali Kota 2025 awalnya bisa menjadi ajang kebanggaan lokal. Sayangnya, nuansa euforia itu justru ternodai oleh satu fakta yang sulit diabaikan: ketua panitia pelaksana, Hamzah, yang juga politisi Gerindra Kota Depok, keluar sebagai juara.

Kemenangan panitia dalam acara yang ia gagas sendiri tentu saja menimbulkan tanda tanya besar. Sehebat apapun koleksi Pandan Lumut milik Hamzah, sulit menepis kesan konflik kepentingan. Publik wajar menduga ada “tangan tak terlihat” yang ikut mengatur jalannya penilaian.

Di sini letak persoalannya: legitimasi yang katanya ingin diangkat Hamzah justru bisa jatuh. Sebab, bagaimana mungkin publik percaya pada objektivitas sebuah kontes jika panitianya sendiri boleh ikut bersaing dan menang?

Batu akik memang punya pesona dan daya tarik budaya. Tapi ketika keindahannya dipakai untuk menutupi praktik yang rawan konflik kepentingan, maka pesona itu kehilangan maknanya. Apalagi Hamzah adalah politisi. Politik sudah terlalu sering menggunakan panggung budaya untuk mengangkat citra pribadi.

Kalau Pemkot Depok ingin serius mengangkat tradisi batu akik lokal, seharusnya ajang ini steril dari campur tangan kepentingan pribadi panitia. Transparansi, integritas, dan kepercayaan publik jauh lebih penting ketimbang sekadar membanggakan Pandan Lumut atau Bacan.

Alih-alih memperkuat legitimasi, kemenangan Hamzah justru menorehkan ironi: kontes batu akik yang mestinya jadi etalase budaya, malah tampak seperti cermin kecil praktik nepotisme yang akrab dalam panggung politik kita.

Penulis: Juli Efendi

Opini

CSR Bank Sentral Mengalir Ke DPR : Amal atau Alat Bancakan?

Editorial Berimbangcom

Kasus yang menjerat Politikus NasDem, Satori, kembali membuka borok lama: betapa mudahnya dana corporate social responsibility (CSR) dipelintir jadi bancakan politik. Kali ini, bukan perusahaan swasta yang jadi sorotan, melainkan dua institusi strategis negara: Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

CSR sejatinya adalah kewajiban moral sekaligus instrumen tanggung jawab lembaga. Tapi di tangan politisi rakus, dana itu berubah rupa jadi “amplop halal” untuk pencitraan di daerah pemilihan. Labelnya mulia: sosialisasi, edukasi, pengembangan masyarakat. Faktanya? Diduga kuat mengalir ke rekening pribadi, showroom mobil mewah, dan proyek bancakan yang tak ada kaitan dengan rakyat kecil.

Satori berdalih mobil-mobil yang disita KPK hanyalah barang dagangan showroom. Dalih klise yang sering kita dengar dari politisi ketika berhadapan dengan penyidik. Publik tentu boleh mencibir: mengapa showroom bisa berkembang pesat justru ketika ia menjabat di Komisi XI DPR yang mengawasi BI dan OJK? Apakah kebetulan semata, atau memang inilah wajah asli simbiosis kotor antara regulator dan politisi?

Lebih ironis, Satori sempat mengaku bahwa semua anggota Komisi XI mendapat aliran dana CSR. Jika pengakuan ini benar, maka praktik bancakan ini bukan kasus individu, melainkan korupsi berjamaah yang melibatkan satu komisi penuh. Dengan kata lain, Komisi XI DPR yang seharusnya mengawasi bank sentral justru menjelma menjadi mesin perasannya.

KPK patut diapresiasi karena berani menggeledah hingga ruang kerja Gubernur BI. Tapi publik juga menuntut konsistensi: jangan hanya berhenti di politisi rendahan atau aktor lapangan. Jika benar ada restu dari level elite, baik di BI, OJK, maupun partai politik, semua harus diseret ke meja hijau.

Kasus CSR ini adalah alarm keras bagi kita semua. Negara bukan hanya kehilangan uang, tapi juga kehilangan marwah. CSR yang seharusnya menolong rakyat malah dijadikan sapi perah elite politik. Inilah wajah “korupsi bergaya modern”: bukan lagi amplop di bawah meja, melainkan paket resmi bersampul program sosial.

Pertanyaannya sederhana: sampai kapan kita membiarkan lembaga tinggi negara jadi mesin pencucian uang dengan label CSR?

 

Opini

Lowongan Sekda Depok dan Ilusi Transparansi Birokrasi”

Oleh : Juli Efendi

BERIMBANG.com, Depok – Pemerintah Kota Depok baru saja membuka seleksi terbuka untuk jabatan strategis Sekretaris Daerah (Sekda). Di atas kertas, ini adalah bagian dari komitmen terhadap reformasi birokrasi dan profesionalisme aparatur sipil negara. Namun, jika dicermati lebih dalam, pengumuman ini justru mengundang banyak tanda tanya: benarkah seleksi ini murni terbuka dan kompetitif, atau hanya menjadi ajang formalitas untuk melegitimasi calon tertentu yang telah “disiapkan” sejak awal?

Pada hari pertama pembukaan seleksi, tak satu pun pendaftar yang masuk. Ini bukan sekadar masalah waktu atau kesiapan dokumen para kandidat. Ini gejala yang bisa dibaca sebagai sinyal kuat ketidakpercayaan terhadap proses itu sendiri. Jika benar proses ini terbuka dan adil, mengapa tak ada antusiasme? Apakah karena para ASN senior sudah mafhum siapa yang akan dipilih? Ataukah karena syarat-syarat yang ditetapkan begitu eksklusif sehingga menutup peluang bagi banyak ASN kompeten dari luar lingkaran kekuasaan?

Syarat seperti pangkat minimal IV/b, pengalaman dua tahun di jabatan Eselon IIb, serta sederet dokumen teknis yang harus dipenuhi—dari LHKPN hingga surat rekomendasi PPK—seolah menjadi benteng administratif yang sulit ditembus. Ini menciptakan kesan bahwa hanya segelintir orang yang bisa masuk dalam radar seleksi. Bahkan beberapa pihak bisa menilai, persyaratan ini sengaja disusun agar sesuai dengan profil calon tertentu yang sudah “dipesan”.

Lebih ironis lagi, proses seleksi ini dilakukan di tengah publik yang semakin skeptis terhadap birokrasi daerah yang cenderung elitis dan eksklusif. Di banyak tempat, termasuk Depok, jabatan Sekda bukan hanya posisi administratif, tetapi juga posisi strategis yang menentukan arah kebijakan pemerintah kota. Jika yang terpilih hanyalah “orang dalam” atau mereka yang sekadar loyal pada wali kota, maka yang dikorbankan adalah profesionalisme, integritas, dan yang paling penting: kepentingan publik.

Harus diakui, proses seleksi jabatan tinggi kerap hanya menjadi formalitas hukum belaka. Digelar terbuka, diumumkan di media, disertai syarat teknis yang lengkap, namun pada akhirnya hanya menjadi dekorasi demokrasi di atas panggung kekuasaan yang sudah ditentukan arahnya. Tidak sedikit kasus di mana panitia seleksi hanyalah stempel legalitas, bukan penjaga objektivitas.

Kita tidak sedang menuduh, tetapi publik berhak curiga. Karena kepercayaan pada proses pemerintahan tidak dibangun dengan kata-kata, melainkan dengan transparansi dan integritas nyata. Jika Pemerintah Kota Depok benar-benar ingin membangun tata kelola yang bersih dan meritokratis, maka sudah saatnya membuktikan bahwa jabatan Sekda ini memang diperebutkan secara sehat, bukan dibagikan secara diam-diam.

Tanpa itu, pengumuman ini hanya akan menjadi bagian dari rutinitas birokrasi yang kehilangan makna. Reformasi birokrasi hanyalah ilusi, dan publik hanya akan menjadi penonton dari panggung yang naskahnya sudah ditulis jauh sebelum audisi dimulai.

Opini

Bersama Depok Maju, Menata Masa Depan yang Lebih Baik

BERIMBANG.com, Depok – Tanggal 27 April 2025, Kota Depok genap berusia 26 tahun. Sebuah usia yang tergolong muda bagi sebuah kota, namun cukup untuk melihat bagaimana Depok tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Dengan mengusung tema “Bersama Depok Maju,” peringatan ulang tahun ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan pencapaian, sekaligus menyatukan langkah menuju masa depan yang lebih baik.

Baca juga : Kampung KB Jatijajar, Tapos Dapat Penilaian Terbaik Dari Propinsi Jabar

Depok bukan lagi sekadar kota penyangga Ibu Kota. Ia telah menjadi kota mandiri dengan karakteristik dan potensi yang unik—mulai dari pusat pendidikan, pertumbuhan ekonomi kreatif, hingga kekayaan budaya lokal yang terus terjaga. Namun, tentu masih banyak tantangan yang harus dihadapi: kemacetan, pengelolaan sampah, dan kesenjangan pembangunan di berbagai wilayah.

Baca juga: Wabup Bogor: Kita Siapkan 18 Titik Pos Pam Mudik Lebaran

Melalui semangat kebersamaan, pemerintah dan masyarakat dapat saling bergandeng tangan untuk menjawab tantangan tersebut. Kolaborasi antara warga, komunitas, pelaku usaha, dan pemerintah menjadi kunci utama. Depok bisa lebih maju jika semua elemen terlibat aktif dalam proses pembangunan, baik melalui inovasi, kepedulian sosial, maupun partisipasi dalam menjaga lingkungan.

Di usia ke-26 ini, mari kita jadikan “Bersama Depok Maju” bukan sekadar slogan, tapi komitmen bersama. Sebab kemajuan bukan hanya tentang gedung tinggi atau jalan lebar, tapi juga tentang kualitas hidup, keadilan sosial, dan keberlanjutan. Selamat ulang tahun, Kota Depok—teruslah tumbuh, dan teruslah maju bersama rakyatmu.

Penulis: Juli Efendi

Opini

Sampah Bukan Sekadar Kotoran, Tapi Cermin Kepemimpinan di Depok

Oleh: [Juli Efendi] Jilid 2

BERIMBANG.com, Depok – Masalah sampah mungkin terlihat remeh. Hanya soal tumpukan plastik, sisa makanan, atau kardus bekas yang menumpuk di sudut jalan. Tapi di Kota Depok, sampah sudah menjelma jadi masalah serius—dan lebih dari itu, menjadi simbol lemahnya kepemimpinan.

Sudah terlalu sering warga mengeluh soal keterlambatan pengangkutan sampah, tumpukan yang tak kunjung diangkut, atau Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang tidak memadai. TPS liar pun menjamur, bau menyengat menghantui kawasan pemukiman, dan warga akhirnya terpaksa membakar sampah sendiri—yang tentu berdampak buruk pada lingkungan.

Bca Juga : DLHK Depok Bantah Dana Retribusi Sampah Di Selewengkan

Semua ini bukan hanya soal kebersihan, tapi soal bagaimana pemerintah kota bekerja. Sampah adalah urusan yang sangat dasar dalam tata kelola kota. Jika urusan semacam ini saja tidak bisa ditangani dengan baik, bagaimana mungkin masyarakat percaya pada komitmen besar lainnya, seperti smart city, pembangunan berkelanjutan, atau bahkan kesehatan publik?

Yang ironis, kampanye pengelolaan sampah sebenarnya sudah sering dilakukan. Ada bank sampah, ada program 3R (reduce, reuse, recycle), bahkan ada jargon “Depok bersih dan hijau”. Tapi semua itu terasa setengah hati—bagian dari pencitraan, bukan solusi.

Di lapangan, kesenjangan antara wacana dan realitas sangat terasa. Pengelolaan sampah masih minim teknologi, armada pengangkut tak sebanding dengan volume sampah harian, dan koordinasi antarwilayah sangat lemah. Lebih parah lagi, penegakan hukum terhadap pelaku pembuangan sampah sembarangan nyaris tak terdengar.

Sampah adalah cermin. Ia mencerminkan apakah pemimpin sebuah kota benar-benar hadir untuk rakyatnya, atau hanya sibuk mengurus proyek-proyek besar yang menguntungkan segelintir pihak. Kota Depok saat ini tampak lebih sibuk membangun taman tematik dan proyek fisik lainnya, tapi melupakan fondasi paling mendasar: lingkungan yang sehat dan bersih.

Sudah waktunya pemerintah kota mengambil langkah tegas dan berani. Bangun sistem pengelolaan sampah yang adil, modern, dan melibatkan warga secara nyata. Tegakkan aturan, beri insentif bagi warga yang peduli lingkungan, dan pastikan setiap keluhan ditindaklanjuti, bukan diabaikan.

Karena pada akhirnya, kota bukan hanya tentang gedung tinggi dan jalan mulus. Kota adalah tentang bagaimana manusia hidup di dalamnya. Dan hidup yang layak dimulai dari lingkungan yang bersih dan sehat—bukan dari janji-janji kosong.

 

Opini

Sampah Menumpuk, Wajah Depok yang Kian Kusam

Oleh: [Juli Efendi] ( Jilid 1 )

BERIMBANG.com, Depok – Depok dikenal sebagai kota penyangga ibu kota dengan populasi padat, geliat pembangunan tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang relatif pesat. Namun, di balik segala geliat itu, Depok menyimpan masalah yang makin menggunung—secara harfiah: sampah.

Baca juga : Fraksi Gerindra Dukung Pemkot Depok Tuntaskan Masalah Sampah, Dorong Inovasi dan Kerja Sama

Masalah sampah di Kota Depok bukan lagi sekadar keluhan warga. Ini sudah menjadi krisis lingkungan yang terabaikan. TPS liar bermunculan di sudut-sudut jalan, tumpukan sampah menebar bau busuk, dan pengangkutan yang tak konsisten membuat warga frustrasi. Bahkan di area permukiman elite atau perkantoran, pemandangan bak sampah yang meluber sudah menjadi hal biasa.

Ironisnya, program-program pengelolaan sampah yang diluncurkan Pemkot Depok sering kali hanya bersifat seremonial. Kampanye 3R (reduce, reuse, recycle) berjalan di atas kertas, sementara implementasinya minim. Bank sampah? Hanya aktif di segelintir RW. Pengelolaan kompos? Terbatas pada segelintir komunitas sadar lingkungan. Sisanya, sampah tetap menumpuk dan dibuang ke TPA Cipayung yang sudah kelebihan kapasitas.

Sementara itu, regulasi dan pengawasan terhadap pelaku usaha juga lemah. Banyak pelaku bisnis—mulai dari restoran hingga proyek properti—membuang sampah sembarangan tanpa sanksi tegas. Kota ini butuh ketegasan, bukan sekadar imbauan.

Permasalahan ini bukan hanya soal estetika kota. Ini soal kesehatan publik, pencemaran tanah dan air, hingga perubahan iklim mikro di kawasan urban. Sampah yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi bom waktu ekologis—dan ketika meledak, dampaknya akan dirasakan oleh semua, tanpa pandang kelas sosial.

Wali Kota Depok harus sadar: ini bukan hanya masalah teknis. Ini cermin dari ketidaktegasan, lemahnya kepemimpinan lingkungan, dan kurangnya kemauan politik. Sudah saatnya Depok punya sistem pengelolaan sampah yang modern, berbasis komunitas, dan diawasi secara serius. Insentif untuk warga pengelola sampah harus nyata. Sanksi untuk pembuang sembarangan harus tegas. Dan yang paling penting: pemerintah harus memimpin, bukan sekadar hadir saat potong pita.

Depok bisa bersih. Tapi butuh kemauan kuat, bukan hanya anggaran besar. Jika tidak ada perubahan, maka kota ini akan tenggelam dalam gunungan sampah ciptaannya sendiri.

 

NasionalOpini

Permasalahan Hukum dalam Era Bisnis dan Industri Hukum

BERIMBANG.com, Depok – Masih teringat jelas saat kita mendengar kalimat, “HUKUM UNTUK KEADILAN.” Sebagai pencari keadilan, penting untuk memegang erat slogan ini sebagai landasan dalam menjalankan profesi.

Manajer Partner WK Law Office, Wildan Kamil, memberikan pandangannya mengenai implementasi hukum saat ini. Menurutnya, penegakan hukum adalah elemen krusial dalam mewujudkan keadilan sosial dan peradaban sesuai semangat proklamasi kemerdekaan dengan landasan Pancasila dan UUD 1945.

Menurut pandangannya, upaya hukum dalam menegakkan prinsip keadilan sosial akan berhasil apabila dilakukan melibatkan berbagai pihak sesuai peran dan tanggung jawab yang diatur hukum yang berlaku. Pemahaman hukum dan penghormatan nilai-nilai negara hukum yang beradab, serta hak asasi manusia, harus menjadi tujuan bersama yang perlu diwujudkan bersama melalui peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum.

Dalam pandangannya, penegakan hukum di negara ini semakin rumit. Kasus-kasus hukum kontroversial menjadi perbincangan hangat di publik, menimbulkan kecemburuan sosial dan kegaduhan massa yang bersifat nasional. Masyarakat merasa tidak ada harapan menyelesaikan masalah hukum kecuali dengan kemauan pemerintah dan aparat hukum berfokus pada keadilan dan kepastian tanpa campur tangan eksternal.

Hukum sebagai panglima, menempatkan hukum dalam tatanan sosial untuk ketertiban, kedamaian, ketentraman, kebahagiaan, dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Van Apeldorn, tujuan hukum adalah menjaga ketertiban hidup manusia dengan melindungi kepentingan hukum seperti kehormatan dan kemerdekaan, menjaga perdamaian antar manusia dari pihak yang merugikan.

Di sisi lain, Wildan Kamil menyatakan bahwa hukum harus memberikan kebahagiaan dan keadilan sosial dengan kaidah hukum sebagai pedoman prilaku untuk menciptakan dan mempertahankan kedamaian dalam masyarakat.

Hukum sangat diperlukan dalam kehidupan bersosial, berbangsa, dan bernegara. Penegakan hukum melibatkan upaya aparat penegak hukum dari kebijakan, formulasi, aplikasi, hingga eksekusi. Penegakan hukum adalah proses membuat undang-undang yang baik, mengaplikasikannya dengan efektif, dan menjadikan hukum sebagai panglima tanpa pandang bulu.

Pentingnya bahwa pilar penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, Kehakiman, dan Pengacara harus mandiri tanpa campur tangan eksternal. Semua pilar penegak hukum harus menjalankan tugas dan amanahnya dengan menjunjung tinggi keadilan dan kepastian hukum.

Hukum menjadi harapan semua masyarakat Indonesia. – Wildan Kamil, WK Law Office, WK Law Firm, LBH Master Indonesia

Opini

Tragedi Kanjuruhan: Tindakan Polri adalah Preventive Force yang Lawful Bukan Excessive Force

BERIMBANG.com – Oleh: Prof. DR. Indriyanto Seno Adji. SH, MA. Guru Besar Hukum Pidana/Pengajar PPS Bidang Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

– Kita semua berduka tentang musibah Kematian sekitar 130 orang menjadi tragedi nasional di bidang olah raga, betapa tidak, karena musibah ini baru sekali terjadi pada olahraga Indonesia dan musibah kematian no 2 di dunia pada olahraga sepakbola,

 

– Mengapa Polri dituding bertanggungjawab atas musibah ini?. Mengenai musibah ini dari sisi Hukum Pidana belum memberikan argumentasi yang utuh, jelas dan tegas antara makna “Excessive Force” dengan kondisi darurat chaos di lapangan penyelenggaraan sepak bola ini yg dikategorikan sebagai abnormaal tijden (kondisi darurat),

bahkan kalau dikaitkan dengan suasana chaos dengan kategori kondisi force majeur, sehingga penggunaan gas air mata yang dilakukan oleh Penegak Hukum Polri yang dianggap sebagai pemicu tragedi Kanjuruhan, bahkan penggunaan gas air mata dianggap melanggar aturan internal FIFA.

 

– Ada polemik mengenai legitimasi dan levelitas antara regulasi FIFA dan Hukum Nasional mengenai dampak picuan penggunaan gas air mata,

Kedua aturan ini, FIFA dan Hukum Nasional memiliki relasi dan integritas yg saling mengisi, namun haruslah dipahami bahwa “the sovereignty of national law is the supreme law”. Haruslah diakui bahwa Kedaulatan Hukum Nasional harus diapresiasi sebagai hukum tertinggi.

Bahkan Hukum secara universal mengakui bahwa dalam kondisi darurat chaos kebutuhan tindakan preventive force adalah lawful dan legitimatif untuk mencegah dampak yang lebih luas terhadap kondisi dan lingkungan yang membahayakan saat itu,

 

– Keadaan darurat chaos menggunakan senjata gas air mata, yang justru harus dilakukan karena adanya picuan serangan atau ancaman yang variatif, yaitu serangan seketika itu yang melawan hukum terhadap petugas penegak hukum Polri dan para pemain/official Persebaya.

Kericuhan diantara para supporter (pembakaran kendaraan Polri dan pribadi) yang karenanya tindakan preventive force yang proporsionalitas dan subsidaritas adalah tindakan yang justru dibenarkan secara hukum (Lawfull).

 

– Salah satu penyebab musibah kematian diperkirakan karena masih terkuncinya beberapa pintu gerbang utama keluar stadion tersebut,

karena itu pemeriksaan obyektif atas musibah ini harus dilakukan secara utuh dan tidak bisa dilakukan secara parsial, yaitu pemeriksaan sebatas dugaan excessive force penggunaan gas air mata,

karena kasus ini memiliki Relatie Causaliteit dengan pendekatan preventive force, yaitu polemik tanggung jawab tidak terhadap penggunaan gas air,

tetapi kondisi chaos tertutupnya beberapa gerbang keluar yang masih terkunci sehingga terkadi desak2an, terjepit dan terinjak sesama penonton tersebut .

 

– Padahal perlu diketahui bahwa musibah ini sebagai dampak atau akibat chaos dari kegaulaan serangan dan ancaman serangan terlebih dahulu yang dilakukan oleh penonton/suporter terhadap penegak hukum/pemain Persebaya/official .

 

– Pemeriksaan yang dibuat secara parsial atas dugaan tuduhan kepada Polri bisa menimbulkan kesan adanya Pemahaman Sesat kepada publik.

Pola dan karakter chaos pada saat selesaianya sepak bola itu memang sangat kuat diduga melakukan aksinya secara anarkis dan telah menimbulkan chaos, baik limitatif maupun ekstensif masif, dan apalagi sudah melakukan perlawanan terhadap Polisi sebagai aparatur kekuasaan dibidang keamanan dan ketertiban umum.

Polri memiliki kewenangan maupun diskresi (wetmatigheid dan Doelmatigheid) untuk melakukan tindakan hukum dengan berbasis dan bernilai secara proporsionalitas dan subsidiaritas, yang dalam pemahaman implementatif adalah tindakan tegas dan terukur.

Tindakan Polisi masih dalam batas-batas kewenangan yang dimiliki dan sama sekali tidak mengandung perbuatan yang dikategorikan unlawful, baik SOP
sebagai Internal Rules maupun Hukum
Nasional (Pidana).

Adanya tindakan pencopotan jabatan Kapolres dan beberapa perwira Brimob adalah terkait tindakan administratif disiplin (disciplinary administrative rules) yang tentunya tidak terkait pelanggaran hukum, tidak terkait adanya excessive force yang unlawful.***

Opini

Pertanggungjawaban Insiden Stadion Kanjuruhan, Analis Keamanan Publik Roger P Silalahi Angkat Bicara

BERIMBANG.com – Beredar narasi yang ditulis oleh Roger P. Silalahi Analis Keamanan Publik di media sosial WhatsApp Grup (WAG), terkait pertanggungjawaban tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang.

Dalam narasi tersebut, Roger Silalahi menulis tanggapan tentang tragedi Kanjuruhan yang menelan korban ratusan korban jiwa, berikut narasi selengkapnya:

Memakan korban 125 jiwa. Tragedi sepak bola terbesar kedua di dunia sejak 1964, sungguh memilukan dan memalukan, dan mengerikan.

Seperti biasa, publik bereaksi keras atas kejadian, memaki, mengutuk, dan mempersalahkan berbagai pihak. Saya melibatkan diri dalam berbagai diskusi di berbagai ruang publik, mengamati, mengumpulkan data, dan akhirnya angkat bicara.

Mempersalahkan Polisi dengan gas air mata, yang disebut membuat sesak dan menimbulkan kepanikan serta keterpojokkan massa di beberapa titik, itu reaksi banyak pihak.

FIFA melarang hal tersebut dalam point 19B peraturannya kata mereka, mengapa Polri melakukannya…? Ramai-ramai mempersalahkan Polisi, dan setelah berbagai data dipaparkan, barulah mereda, dan mulai berpikir objektif.

Ada banyak hal terjadi, ada banyak video tersebar, ada banyak spekulasi, yang terpenting bagi kita adalah memahami keseluruhannya, dari berbagai sisi, dan mengkaji keseluruhannya agar tidak terjadi lagi.

Persiapan Pertandingan

Pertandingan dipersiapkan cukup lama, dan melibatkan semua stake holder terkait, Panitia, Klub Sepak Bola, Media, Pemda, Kepolisian, dan juga Supporter.

Berbagai hal dicoba dilakukan, termasuk adanya pengaturan tidak hadirnya ‘Bonek’ di pertandingan, mengikuti keputusan rapat Aremania dan Panitia Pelaksana.

Tapi, saran dan permintaan dari Kepolisian terkait jam penyelenggaraan dan pembatasan jumlah penonton ditolak dan diabaikan oleh Panitia Pelaksana.

Ini tentunya tidak terlepas dari Indosiar selaku stasiun TV yang menyelenggarakan tayangan langsung laga tersebut, dan Panitia Pelaksana yang mengejar keuntungan semaksimal mungkin dari penjualan tiket masuk,

sehingga akhirnya jam tayang tidak berubah, sementara kapasitas stadion yang mampu menampung 42.499 orang dimaksimalkan di angka 42.000 tiket, tidak mengikuti saran Kepolisian yang menyarankan untuk menurunkan ke angka 25.000 tiket saja.

Data menunjukkan supporter yang datang berjumlah 42.288 orang, berarti tinggal 211 orang diluar supporter yang boleh masuk stadion.

Melihat ini, jika ditambahkan dengan jumlah Pasukan Pengamanan yang terdiri dari unsur Polisi dan TNI (jumlah pasti belum berhasil didapatkan), dapat dipastikan Stadion Kanjuruhan yang memiliki 14 pintu itu menampung jumlah orang melebihi kapasitasnya. Bisa dibayangkan, setidaknya 1 pintu harus melayani sekitar 7.265 orang.

Permintaan Kepolisian untuk menurunkan jumlah penonton pastilah terkait dengan ‘risk assessment’ dan ‘risk management’ yang diperhitungkan dan direncanakan Kepolisian, dalam hal ini, berkerasnya penyelenggara dan media tayang langsung dapat dianggap meremehkan Kepolisian.

Jumlah anggota yang tersedia pun pastilah terbatas dan hal ini pun terkait dengan permintaan penurunan jumlah penonton.

Tapi apa mau dikata, pertandingan dimulai, pertandingan selesai, kerusuhan terjadi. Kepolisian menembakkan gas air mata, sesuai dengan protap dan Perkap Nomor 16 tahun 2006, lalu banyak yang mempersalahkan hal gas air mata ini dengan berpegang pada aturan FIFA Point 19B.

Sebentar, jangan terburu-buru, kita bukan granat yang meledak setelah 10 detik, kita manusia yang diberikan kemampuan membaca, mempelajari dan memikirkan semuanya, sebelum berpendapat. Coba ikuti runutan logika berpikir berikut:

* Tingkatan dan Induk Peraturan

* Konstitusi, turunannya Undang Undang, turunan di bawahnya Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Kapolri, dll.

* Aturan FIFA, lembaga sepakbola Dunia, turunannya aturan PSSI…

* Jika berdasarkan tingkatan peraturan, maka yang harus dipertanyakan adalah PSSI. Apakah standar stadion Kanjuruhan sesuai dengan standar FIFA…? Jika tidak, salahkan PSSI.

* FIFA tidak bisa ditempatkan lebih tinggi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kenapa tidak mempermasalahkan standar stadion yang tidak mengikuti aturan FIFA sebagai ‘atasannya’…?

Terkait Aturan FIFA

Peraturan tersebut berlaku hanya untuk pertandingan yang langsung berada di bawah FIFA, dan pertandingan internasional yang diselenggarakan dengan regulasi FIFA. Dari sini, jelas aturan tidak berlaku untuk laga di Kanjuruhan.

Peraturan nomor 19 yang dianggap atau dipersalahkan dilanggar Polri tersebut diperuntukkan bagi Stewards, dan Petugas Keamanan yang diperbantukan sebagai Stewards.

Apa itu “Stewards”…? Definisi Stewards adalah; “For the purpose of these regulations, a steward is defined as any person employed, hired, contracted or volunteering at the stadium to assist in the management of safety and security of spectators, VIPs/VVIPs, players, officials and any other person at the stadium, excluding those persons solely responsible for the security of designated individuals and members of the police services responsible for maintaining law and order.”

Sementara peraturan FIFA pasal 9 dan 10 juga mencantumkan adanya “contingency & emergency plan” untuk pengamanan jika terjadi kerusuhan. Jadi, ketika terjadi kerusuhan, yang berlaku adalah “emergency plan”, “force major”.

Keseluruhannya sejalan dengan apa yang saya jelaskan sebelumnya, bahwa tidak ada dan tidak mungkin Kepolisian Negara Republik Indonesia harus tunduk pada peraturan FIFA.

Pengelola Stadion

Pintu dibuka, penonton masuk, lalu pintu dikunci, lalu penjaga pintu pergi entah ke mana, saat kerusuhan pecah, semua berebut keluar, berdesakkan, terhimpit di ruang menuju pintu keluar, dan beberapa pintu terkunci.

SOP stadion seperti apa…? Sesuai FIFA…? Adakah SOP standar PSSI…? Saya meragukannya. Lalu kemudian karena banyak yang terhimpit, kehabisan oksigen, sampai meninggal sekian banyak, apakah karena gas air mata atau karena tidak bisa keluar stadion…?

Masyarakat harus berani melihat keseluruhan peristiwa sesuai runutannya secara objektif, jangan hanya cari gampang mempersalahkan aparat, atau terbawa arus mempersalahkan polisi lalu pemerintah lalu ujungnya Salah Jokowi.

Jangan mau ditunggangi, tempatkan semua pada posisi, sesuai porsi.

Hati-hati, dunia ini penuh dengan bahaya.

Roger P. Silalahi
Analis Keamanan Publik

(***)