“Seribu Sehari Ala Dedi Mulyadi: Gotong Royong atau Gagal Paham Negara?”

Spread the love

Berimbang.com – Jakarta.
Program Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) menuai reaksi keras dari publik, termasuk dari kalangan jurnalis nasional.

Melalui surat edaran bernomor 149/PMD.03.04/KESRA tertanggal 1 Oktober 2025, Dedi mengimbau aparatur sipil negara (ASN) serta masyarakat Jawa Barat untuk berdonasi Rp1.000 per hari guna mendukung sektor pendidikan dan kesehatan.

Namun, langkah yang disebut sebagai bentuk gotong royong modern itu justru dinilai sejumlah pihak sebagai bentuk kegagalan negara memenuhi kewajibannya terhadap rakyat.

Salah satu suara lantang datang dari Valentinus Resa, presenter Metro TV, yang mengkritik keras kebijakan tersebut dalam salah satu program siaran nasional.

“Negara sudah punya anggaran dari pajak rakyat. Jadi kenapa urusan pendidikan dan kesehatan, yang seharusnya tanggung jawab negara, malah diserahkan lagi ke rakyat?” ujar Resa dalam tayangannya, dikutip Minggu (12/10/2025).

Dengan gaya satirnya, Resa bahkan menyindir kebijakan itu dengan analogi yang menohok.

“Ini ibarat kita pesan nasi goreng, sudah bayar tapi disuruh bawa piring sendiri, telur sendiri, masak sendiri,” katanya.

Resa menilai, meski nilai Rp1.000 terdengar kecil, bagi sebagian masyarakat angka itu tetap signifikan.

“Seribu rupiah mungkin receh bagi sebagian orang, tapi buat sebagian lainnya itu bisa buat beli beras. Jadi wajar kalau banyak warga keberatan,” tambahnya.

Lebih jauh, ia menyoroti potensi penyimpangan dalam pelaksanaan program tersebut di lapangan.

“Mereka bilang sukarela, tapi publik khawatir nanti berubah jadi kewajiban,” ujarnya.

Ia bahkan menggambarkan bagaimana beban itu bisa terasa berat jika dikalikan kebutuhan keluarga sehari-hari.

“Satu keluarga empat orang, sehari 4 ribu rupiah. Sebulan jadi 120 ribu. Listrik sebulan aja kadang masih nunggak. Belum beli beras, minyak, cabai, kuota internet. Belum lagi kalau harus subscribe konten KDM,” sindirnya.

Selain nominal, Resa juga menilai program Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu berpotensi tumpang tindih dengan gerakan sosial yang sudah berjalan di masyarakat.

“Contohnya di Kelurahan Tuguraja, Tasikmalaya, warga sudah lama punya gerakan serupa. Jadi ketika ada program baru dari provinsi, mereka merasa redundant,” ujarnya.

Sementara itu, pihak Pemprov Jawa Barat belum memberikan tanggapan resmi terkait kritik tersebut. Dedi Mulyadi sendiri sebelumnya menyebut program ini sebagai upaya menghidupkan kembali semangat gotong royong di tengah menurunnya solidaritas sosial masyarakat.***

Daerah

Tinggalkan Balasan