Pesantren Kelam di Kota Santri: Luka Tasikmalaya yang Dibungkam

Spread the love

Berimbang.com – Tasikmalaya selama ini dielu-elukan sebagai kota santri. Julukan religius itu seakan menjadi kebanggaan sekaligus identitas daerah. Namun, di balik harum nama itu, tersembunyi kisah kelam dari balik tembok pesantren yang mencoreng wajah pendidikan agama.

Kasus pencabulan kiai terhadap santriwati, kekerasan antar-senior, hingga praktik pelecehan seksual yang diromantisasi sebagai “kejahilan”, menjadi noda hitam yang terus berulang.

Pengalaman Pahit Seorang Alumni

Seorang mantan santri yang menimba ilmu selama enam tahun di sebuah pesantren modern di Tasikmalaya mengaku muak dengan kondisi yang ia alami. Baginya, pesantren yang mestinya menjadi penjara suci justru lebih mirip penjara jahiliyah.

Budaya senioritas menjadi momok terbesar. Santri junior kerap diperlakukan layaknya babu: membungkuk saat berpapasan, mencuci piring kotor senior, hingga menjadi kurir makanan. Lebih parah, jika kebutuhan senior tidak terpenuhi, junior bisa dipaksa mencuri atau memalak adik kelasnya.

“Kalau tidak nurut, siap-siap malam ila hujroti. Itu malam penghakiman, di mana junior dihajar sampai babak belur dengan tamparan, rotan, bahkan sandal,” ungkapnya.

Kekerasan yang Dibungkus Tradisi

Kekerasan fisik bukanlah satu-satunya luka. Tradisi “penggablogan” alias pengeroyokan, sudah dianggap hal biasa. Para ustaz, alih-alih menghentikan, justru membiarkan karena mereka sendiri lahir dari kultur yang sama.

Tak berhenti di situ, pelecehan seksual antar-santri juga jamak terjadi. Ada yang berupa masturbasi paksa terhadap junior, bahkan ada yang sampai oral sex sesama santri dalam kondisi korban tidak berdaya. Ironisnya, semua dianggap “canda nakal”, bukan pelecehan.

Kenyataan yang Masih Terjadi

Meski ada angkatan yang berupaya menghentikan budaya jahiliyah itu, realitas di lapangan menunjukkan pola yang sama terus diwariskan. Beberapa alumni mengaku bahwa hingga kini, praktik kekerasan dan pelecehan belum benar-benar hilang.

Fakta-fakta ini menjadi tamparan keras bagi citra Tasikmalaya sebagai kota santri. Julukan religius tak cukup jika lembaga pendidikan yang mestinya mencetak generasi berakhlak, justru mewariskan trauma, kekerasan, dan praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Tanggung Jawab Siapa?

Pertanyaannya, sampai kapan kasus-kasus ini dibiarkan? Apakah para kiai, ustaz, hingga pemerintah daerah akan terus menutup mata demi menjaga citra “kota santri”? Ataukah keberanian untuk membongkar sisi gelap ini bisa menjadi awal perbaikan pendidikan pesantren di Tasikmalaya?

Yang jelas, pesantren tidak boleh terus menjadi penjara gelap yang membungkam suara korban.***

Daerah

Tinggalkan Balasan