Berimbang.com – Jakarta.
Polemik keaslian ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), kembali memanas. Setelah bertahun-tahun jadi bahan perdebatan, kini drama panjang ini memasuki babak baru yang kian dramatis dan penuh tensi politik.
Kepolisian melalui penyidik Polda Metro Jaya telah resmi menyita ijazah asli milik Jokowi dalam proses pemeriksaan di Solo beberapa waktu lalu. Penyitaan ini menjadi bagian dari penyidikan atas laporan dugaan pencemaran nama baik yang diajukan kubu Jokowi terhadap sejumlah pihak, termasuk pakar telematika Roy Suryo dan aktivis dr. Tifa.
Langkah tegas ini dinilai sebagai senjata pamungkas tim hukum Jokowi untuk membungkam spekulasi berkepanjangan seputar keabsahan dokumen pendidikannya dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Namun, justru di saat publik menanti kejelasan, Roy Suryo balik menyerang. Dalam sebuah debat panas di program Intrupsi InewsTV, Roy Suryo menyatakan telah mengantongi lebih dari 10 ijazah asli milik alumni UGM angkatan 1985, yang disebutnya sebagai alat pembanding otentik.
“Kabar terbaru ini, ada sekitar 10 ijazah di tahun 1985 yang kita siapkan. Ijazah ini asli, dari rekan-rekan seangkatan, bukan salinan. Ini akan kita bandingkan langsung dengan milik Jokowi,” tegas Roy Suryo di hadapan publik.
Roy menyebut akan melakukan analisis forensik terhadap keseluruhan ijazah tersebut, guna mengecek kesesuaian format, tanda tangan, kop institusi, hingga kualitas kertas, dengan dokumen milik Presiden Jokowi. Ia bahkan mengklaim bahwa publik berhak tahu dan menuntut transparansi total dari pemegang kekuasaan.
Respons Istana dan Polisi
Sementara pihak Istana masih belum memberi tanggapan resmi terkait manuver Roy Suryo, tim hukum Jokowi meyakini bahwa ijazah yang telah disita polisi akan berbicara sendiri di pengadilan. Mereka menilai pembuktian melalui jalur hukum adalah satu-satunya langkah sah dan konstitusional dalam mengakhiri kontroversi ini.
Namun demikian, langkah penyitaan justru dianggap membuka ruang baru bagi adu bukti secara langsung di meja hijau—dan itu artinya, drama belum berakhir.
Dampak Politik dan Persepsi Publik
Pengamat politik menilai babak baru ini bukan hanya soal dokumen pendidikan, tapi juga menyangkut legitimasi moral dan sejarah politik seorang kepala negara. Apalagi jika kasus ini terus bergulir di tengah suhu politik nasional yang masih hangat pasca-Pilpres 2024.
Dengan dua kubu kini sama-sama mengklaim memiliki bukti otentik, rakyat Indonesia tampaknya harus menunggu lebih lama untuk menyaksikan siapa yang benar-benar memiliki kebenaran—secara hukum maupun secara sejarah.***