Sejarah

Sejarah

Silsilah Penemu Dan Penerus Kesenian Gong Sibolong Asal Tanah Baru Depok

Buang Jayadi memperlihatkan kesenian Gong Sibolong dan Bende ( Foto : Juli Efendi)
Buang Jayadi memperlihatkan kesenian Gong Sibolong dan Bende ( Foto : Juli Efendi)

BERIMBANG.COM, Depok – Kesenian asli Kota Depok Gong Sibolong mulai tergerus oleh zaman, seni modern mulai bermunculan dengan menampilkan alat – alat modern yang sangat digemari oleh para pemuda dan orang tua.

Menurut analisis sejarah kebudayaan peninggalan kerajaan dimasa lalu, bila diamati dan dikaji bahwa Gong Sibolong adalah lambang yoni (perempuan) bermakna secara garis herizontal merupakan tatanan hubungan antar manusia.

Buang Jayadi (71), penerus kesenian Gong Sibolong mengatakan, misteri dari Gong Sibolong yang sampai saat ini belum bisa terpecahkan lewat akal sehat adalah suaranya yang sangat keras dan merdu bila dimainkan dijaman dahulu.

" Tentunya di zaman dahulu belum ada yang namanya sound system bervoltase besar. Inilah salah satu keanehan Gong Sibolong," ujar Buang ketika ditemui di sanggarnya diwilayah Tanah Baru belum lama ini.

Masih menurut Buang, Gong Sibolong awalnya ditemukan oleh Pak Damung ( asal Ciganjur, Jakarta Selatan )  dengan seperangkat lainnya yang sudah siap pakai kurang lebih 1750 M pada areal tanah tegalan bersemak, tidak jauh dari curugan (air terjun kecil) dikampung curug. 

Pak Damong awalnya sedang melintas di wilayah Kampung Curug lalu terdengar suara gamelan ketika asal suara itu dicari, tidak ada suara gamelan yang dimainkan oleh sekelompok orang, setelah suara itu sudah berhenti, Pak Damong menemukan seperangkat alat gamelan bersama gong tersebut di Curug tetapi Pak Damung hanya membawa Gong, Bende dan Gendang bersama dengan temannya.

Sekian lama Gong Sibolong tersimpan dirumah Pak Damong, sekian lama juga ia tidak pergunakan karena Pak Damong tidak berbakat dalam seni gamelan. Sejalan dengan waktu Gong Sibolong diserahkan kepada Pak Sanim saudara dan kerabatnya yang tinggal di kampung Curug, kampung dimana Gong Sibolong ditemukan. Ditangan Pak Sanim Gong Sibolong bernasib sama lalu diserahkan kepada keluarga Pak Galung.

Ditangan Pak Galung, kesenian Gong Sibolong akhirnya mencapai kemajuan, termasyur kemana – mana, membawakan irama musik ajeng, irama gamelan yang mirip dengan permainan gamelan bali. Daerah yang pernah mengadakan pertunjukan Gong Sibolong adalah Cimanggis, Cibubur, Bojong Sari dan sampai jauh ke wilayah lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Setelah Pak Galung memasuki usia sepuh, kepemimpinan Gong Sibolong dipercayakan kepada putra tertuanya bernama Pak Saning kurang lebih tahun 1942 kemudian dipercayakan kepada  Ibu Asem.

Generasi ke 4 pewaris kepemimpinan kesenian Gong Sibolong adalah Pak Naman Eyot lalu diserahkan lagi ke sepupunya Pak Bagol dan sampai kepengurusan yang sekarang masih hidup adalah Pak Buang Jayadi, grup kesenian yang dipimpinnya terus mengalami kejayaan.

Lanjut Buang, akhir perjalanan Gong Sibolong pada tanggal 29 September 1979, Gong yang setiap saat digantung setelah mengikuti pertunjukan ( sudah jarang digunakan) tiba – tiba jatuh, bagian bawahnya pecah. Ini terjadi dirumah Pak Bahrudin yang berlokasi di Jalan Jerah, Tanah Baru RT 01/ RW 06 Kecamatan Beji. 

" Mungkin saja Gong Sibolongnya yang sudah ditinggalkan aura mistisnya. Hanya Allah yang tahu dengan pasti segala rahasia ciptaan-Nya," ucap Buang. (Iik)

 

 

Sejarah

Budaya Ngumbah Pusaka, Pusaka Peninggalan Pejuang Dicuci

img-20161022-wa0021

BERIMBANG.COM, Bogor – Sejumlah pusaka peninggalan Para Pejuang Kemerdekaan yang tersimpan di Museum Perjoangan Bogor, dicuci dalam acara budaya ngumbah pusaka di Museum Perjoangan Bogor , Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat dan Sabtu, (21-22/10/2016). Menurut salah satu pengumbah pusaka. Didi, tujuan pengumbah pusaka ini sebagai wujud dari bentuk penghormatan kepada para pejuang dan salah satu cara melestarikan budaya bangsa.

"Dengan simbolisasi ngumbah pusaka, kita bisa menyadari semua perilaku tahun kemarin agar tahun mendatang melangkah dengan tindakan dan pola pikir yang jernih," kata Didi kepada wartawan.

Beberapa Pusaka peninggalan Para Pejuang Kemerdekaan khususnya diwilayah Bogor raya ini terdiri dari beberapa pusaka ada yang berupa sebuah tombak lurus, dua trisula, beberapa Kujang serta keris. Kendati sudah berumur ratusan tahun, kondisi pusaka yang tersimpan di Museum Perjuangan Bogor ini tersimpan dalam keadaan yang baik dan terawat.

Penanggungjawab pelaksana acara budaya ngumbah pusaka para pejuang, Rosiyana mengatakan, bahwa acara tersebut adalah bentuk dari tanggungjawab masyarakat yang mecintai pusaka peninggalan dari para leluhur di nusantara.

"Pusaka ini tidak sebatas pusaka saja tetapi merupakan hasil dari karya seni yang adiluhung pada saat itu, dan merupakan pusaka turun-temurun yang dimiliki sejak zaman nenek moyang kita terdahulu," ujar Rosiyana.

Acara Budaya ngumbah pusaka pejuang itu dihadiri oleh perwakilan pengurus Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor (DK3B) Safari Budiman, dan beberapa orang dari pencinta barang pusaka.

"Kalau terjemahan saya, intinya ngumbah pusaka itu adalah sebagai bentuk membersihkan pola pikir dan tingkah laku kita dalam menghadapi kehidupan dan prilaku budaya yang sudah hampir tergerus oleh perubahan zaman," tutur Safari Budiman.

Lanjut dia, bahwa kegiatan ini merupakan ritual budaya belaka. Manusia tidak boleh menyandarkan sesuatu kepada benda-benda, tetapi harus kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prosesi budaya ngumbah pusaka tersebut diharapkan akan berlanjut pada event yang skalanya lebih besar lagi dan akan diusulkan untuk masuk dalam kalender budaya Dewan Kesenian dan Kebudayaan di Kota Bogor.

"jangan menyembah pusaka, tapi menyembahlah pada tuhan," pungkasnya.(Andi/Yosep)

Sejarah

Ini Dia, Pernikahan Orang Tua Soekarno Di Pulau Dewata

631cd651d7c792ce30bf3ce899eaf8ccf

BERIMBANG.COM – Rencana pernikahan Raden Soekemi Sosrodiharjo dan Ida Nyoman Rai atau Idayu tak mulus. Mereka berbeda suku dan agama. Kelak, dari pernikahan mereka lahir Sukarno, Sang Proklamator RI.

Ida Ayu Nyoman Rai, yang mempunyai nama kecil Idayu, lahir sekitar 1881 di Buleleng, Bali, sebagai anak kedua dari pasangan Nyoman Pasek dan Ni Made Liran.

Sewaktu kecil orangtuanya memberi nama panggilan “Srimben”, yang mengandung arti limpahan rezeki yang membawa kebahagiaan dari Bhatari Sri.

Semasa remaja di Banjar Bale Agung, Nyoman Rai bersahabat dengan Made Lastri. Sahabatnya ini yang yang kemudian mengenalkan Nyoman Rai dengan seorang guru asal Jawa bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo.

Dalam buku berjudul Bung Karno, Anakku yang ditulis Soebagijo IN, Nyoman Rai menuturkan, pertemuan dengan Soekemi berawal ketika guru muda penuh wibawa itu menyambangi rumahnya.

“Soekemi datang ke rumah kami. Setelah saya mendengar orang ber-kula nuwun di depan rumah dan saya pergi untuk menerimanya, saat ia berbalik melihatku, tiba-tiba dia seperti orang terperanjat melihat wajahku,” kenang Nyoman Rai.

Soekemi rupanya kerap mencuri-curi pandang terhadap Nyoman Rai saat ia sedang berjalan menuju pura atau sedang melakukan kegiatan menari. Dari situlah cinta tumbuh.

“Dia berkata, kalau tidak keliru saya pernah melihat saudari menari atau ikut sesaji,” ucap Nyoman Rai mengenang masa mudanya.

Perbedaan adat sempat membuat tambatan cinta keduanya terhalang. Nyoman Rai yang seorang keturunan ningrat dari Kasta Brahmana, berdasarkan adat harus menikah dengan kasta dan golongan yang sama atau lebih tinggi.

Sukarno mengisahkan sulitnya perjuangan sang ayah mendapatkan sang ibu.

Awalnya Soekemi harus mendapatkan penolakan karena selain berbeda adat, keduanya juga mempunyai keyakinan berbeda. Idayu seorang Hindu yang taat, sedangkan Soekemi merupakan seorang muslim.

“Orangtua ibuku berkata, engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali- sakali tidak, kami akan kehilangan anak kami,” kata Sukarno.

Karena tak memungkinkan untuk mendapatkan persetujuan, satu-satunya cara yaitu Idayu dibawa kabur. Cara itu pun dipilih untuk menyatukan cinta mereka. Soekemi membawa lari Idayu. Buleleng gempar.

Keluarga mencari ke mana-mana. Ketika Nyoman Rai akhirnya ditemukan, pengadilan adat digelar. Idayu ditanya, “Maukah dirimu menikah dengan Soekemi?”

Idayu menjawab, “Ya, bersedia.”

Keputusan ini sarat konsekuensi. Nyoman Rai diharuskan untuk melepas gelar kebangsawanannya. Bahkan, setelah menikah, ia tidak diperkenankan membawa berbagai benda yang berasal dari keluarganya.

“Jangankan perhiasan berupa cincin atau gelang, pakaian yang dibelikan oleh orang tuanya pun tidak boleh sekali-kali dikenakan olehnya. Yang semacam itu dianggap sebagai hukuman baginya,” tulis Soebagijo IN dalam Bung Karno, Anakku.

Keduanya pun akhirnya resmi menikah pada 15 Juni 1887. Putri pertama mereka, Raden Soekarmini (juga dikenal sebagai Bu Wardoyo), lahir pada 29 Maret 1898. Mereka kemudian pindah ke Surabaya.

Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams disebutkan, darah perjuangan yang mengalir ke Sukarno diturunkan dari garis sang ibunda yang merupakan keturunan terakhir raja Singaraja.

“Kakek moyangku merupakan pejuang kemerdekaan yang penuh semangat. Moyangku gugur dalam perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali. Di situ terjadi pertempuran sengit melawan penjajah,” ucap Bung Karno.

Nyoman Rai juga disebut sering menceritakan kisah-kisah heroik perjuangan mengusir penjajah.

Semasa kecil, Bung Karno sering diperdengarkan kisah mengenai perjuangan nenek moyangnya dalam perang Puputan, dan kisah Pangeran Diponegoro, juga heroisme para pejuang di pelosok negeri  mengusir Belanda dari bumi Nusantara.

Karakter dan mental kuat melawan penjajah yang dimiliki Bung Karno juga diturunkan dari sang ibunda.

Bung Karno menceritakan, pada 1946, di sejumlah daerah terjadi perlawanan jarak dekat antara laskar-laskar pejuang dengan musuh. Kejadian ini di Blitar, persis di belakang rumah tempat tinggal keluarga Soekemi dan Nyoman Rai.

Pasukan Indonesia berkumpul, menunggu dalam suasanan tiarap, diam. Untuk sekian lama, mereka hanya diam dan menunggu. Ibunda Bung Karno semula hanya diam, memaklumi sebagai siasat perang.

Tetapi, ketika sekian lama tidak ada pergerakan, anggota laskar hanya diam dan menunggu, Nyoman Rai jengkel.

Dengan mata menyala-nyala, keluarlah Nyoman Rai menghampiri pasukan yang masih diam menunggu. Suaranya keras, membentak para pejuang.

“Kenapa tidak ada tembakan? Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?” kata dia.

Belum sempat ada satu pun yang menjawab, ketika Nyoman Rai mencecar kembali dengan nada tinggi.

“Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda? Majulah kalian semua, keluarlah dan bunuh Belanda- Belanda itu,” ujar dia.

Tak hanya memuji sang ibunda dari garis keturunan nenek moyangnya dari Bali, Bung Karno juga mengaku bangga dengan keluarga sang ayah dari tanah Jawa.

“Keluarga Bapak juga patriot-patriot hebat. Nenek dari nenek bapak memiliki kedudukan setingkat di bawah seorang puteri yang merupakan pejuang pendamping pahlawan besar kami, Pangeran Diponegoro,” kata Bung Karno.*

Sejarah

Mengenal Alat Musik Tradisional Gendang Ditengah Perkembangan Jaman

IMG-20160413-WA0005

BERIMBANG.COM, SUKABUMI – Alat Musik Tradisional Sunda Kendang adalah waditra jenis alat tepuk berkulit yang dimainkan dengan cara ditepuk. Fungsinya sebagai pengatur irama lagu yang tergabung dalam perangkat gamelan.

Dalam penyajian kesenian Sunda, waditra Kendang sangat dominan. Terlihat dari peranannya, baik sebagai waditra waditra pengiring jenis – jenis tarian Sunda dan Pencak Silat. Bahkan dewasa ini, Kendang juga turut andil dalam pagelaran musik dangdut yang dikolaborasikan dengan alat – alat musik modern. Dalam musik dangdut, Kendang lebih dikenal dengan Gendang Rampak.

Saat berimbang.com berkunjung ke sebuah Sanggar Seni Sunda yang juga memproduksi alat musik Gendang di Kampung Cilandak RT 2/4 Desa Sirnajaya, Kecamatan Warung Kiara, Kabupaten Sukabumi, Suryana atau yang lebih dikenal dengan panggilan Kang Bolu, seorang pengrajin yang juga seorang seniman penabuh gendang itu mengatakan, usaha membuat alat musik Gendang sudah digeluti selama 5 tahun, melanjutkan usaha turun temurun yang diwariskan ayah dan kakek buyutnya sebagai pendiri Sanggar.

“Kakek buyut saya seorang pecinta seni sunda hingga mendirikan sanggar jaipongan, sencak silat dan seni debus. Saya sudah menekuni usaha kerajinan ini selama 5 tahun”, katanya.

Lebih lanjut Kang Bolu menjelaskan, dalam bahasa Jawa, Kendang biasa disebut Gendang, asal kata dari Ke dan Ndang yang artinya cepat. Pernyataaan ini sesuai dengan fungsi waditra kendang yaitu untuk mempercepat dan memperlambat irama, kecuali dalam Gamelan Degung.

Badan Kendang sebagai resonator yang dinamakan Kukuwung, terbuat dari bahan kayu. Bisa berbahan kayu nangka, mangga atau kayu pohon jengkol. Sentug atau Bem Kendang adalah bagian lubang besar yang ditutupi lembar kulit terletak dibagian bawah, sedangkan bidang berkulit yang kecil disebut Kemyang, terletak di bagian atas kendang.

Wangkis adalah selaput kulit jangat binatang, penutup lubang Kuluwung sebagai sumber bunyi. Rarawat adalah tali dari bahan baku rotan atau kulit jangat, sebagai alat untuk menegangkan wangkis. Pemasangan Rarawat sangat khas rupa hingga disebut siki bonteng atau wijen. Tali Rawir adalah tali dari bahan rotan atau kulit jangat untuk menutup bibir wangkis. Wengku adalah lingkaran rotan atau bambu yang dipasang dibagian ujung pangkal kendang untuk menggulung wangkis. Anting – anting terbuat dari bahan logam (besi perunggu) berbentuk cincin untuk mengkaitkan Tali Kendang. Rehal adalah standard kendang (ancak). Simpay adalah inin dari kulit jangat untuk mengendurkan dan menegangkan Tali (rarawat).

“Berdasarkan ukuran dan bentuknya, waditra Gendang Sunda ada 3 jenis. Yakni, Gendang Gede atau Indung Gendang biasa dipake dalam pencak silat. Gendang Gending atau Gendang Sedeng, biasa dipergunakan dalam Kliningan Wayangan, Kacapian,  dsb. Dan Gendang Klanter yang berukuran kecil. Di Jawa-Tengah dinamakan Ketipung/Tipung. Kendang ini berperan untuk menambah variasi tabuhan Kendang Sedeng, sebab pemakaiannya tidak terlepas dari Kendang sedeng”, jelas Kang Bolu, kepada berimbang.com, beberapa waktu lalu.

Selain menekuni pembuatan alat musik Gendang, Kang Bolu juga kerap dipanggil dalam pagelaran musik dangdut sebagai penabuh Gendang Rampak. Di profesi itu, Kang Bolu cukup kewalahan dalam menerima order panggilan sebagai penabuh Gendang. Karena saat ini sangat jarang seniman musik yang mampu menguasai tehnik menabuh alat musik tradisional,  yang mengandalkan insting pemainnya. Terlebih dalam mengimbangi musik modern seperti musik dangdut.

Bicara soal harga Gendang, Kang Bolu menawarkan variasi harga disesuaikan dengan jenis kayu dan model serta finishingnya. Mulai dari harga 2 juta rupiah hingga 4 juta rupiah per setnya. Anda tertarik? (Raden)

Sejarah

Danau Lido Cigombong, Obyek Wisata Sejarah Penuh Misteri

IMG-20160403-WA0001

BERIMBANG.COM, BOGOR – Danau Lido, terletak di Jalan Raya Bogor Sukabumi, tepatnya berada di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Danau ini konon menyimpan banyak cerita misteri.

Menurut mitos yang beredar di kalangan masyarakat, danau selaus 1,7 hektare tersebut dipercaya dijaga oleh seekor naga dan seekor buaya putih yang sewaktu – waktu menampakan diri di kawasan danau.

“Bentuknya ular naga berukuran besar dan buaya putih. Bahkan, warga yang sedang mancing juga pernah melihat daun ukurannya sangat besar tiba – tiba muncul ke permukaan air danau”  ujar Maksudi (60) warga yang bermukim tak jauh dari Danau Lido.

Dede (40) warga setempat lainnya menuturkan, beberapa tahun kebelakang, di Danau Lido kerap dilangsungkan upacara adat pelalungan kepala kerbau yang sebelumnya dilakukan upacara ritual yang dipimpin oleh seorang juru kunci. Namun kini tradisi itu seolah hilang tergeser perkembangan jaman.

“Dulu waktu saya kecil setiap tahun di danau ada upacara adat pelalungan kepala kerbau.  Tapi sudah beberapa tahun ini tidak ada.  Bahkan, juru kunci danaunya pun kini sudah tidak ada”, jelasnya.

Dilansir dari berbagai sumber, kawasan wisata Danau Lido dibuat pada zaman Belanda sekitar tahun 1898, saat Belanda membangun Jalan Raya Bogor – Sukabumi. Mereka mencari tempat untuk peristirahatan para petinggi pengawas pembangunan jalan dan pemilik perkebunan.

Danau Lido sendiri adalah danau buatan yang sumber airnya berasal dari aliran sungai dan mata air alam yang dibendung. Konon, bendungannya terbuat dari kaca berukuran tebal yang saat ini sudah tertimbun tanah yang berada di Kampung Tambakan. Danau Lido berada di sebuah lembah Cijeruk dan Cigombong. Jika dilihat dari atas, Danau Lido seperti mangkuk di kaki Gunung Gede – Pangrango. Di dekat danau ini juga terdapat air terjun Curug Cikaweni yang mengalirkan air yang sangat dingin di bahu Gunung Gede Pangrango.

Kawasan ini baru dibuka untuk umum pada tahun 1940, setelah Ratu Wilhelmina datang dan beristirahat di Lido pada tahun yang sama. Ketika itu, restoran pertama diresmikan sebagai pelengkap fasilitas kawasan wisata dan juga untuk menjamu Sang Ratu, yang saat ini bernama Oranje Lido

Sebelah kiri bawah di pinggir Danau Lido terdapat beberapa bangunan Villa  atau Cottage yang menyimpan kisah cinta  romantis. Cottage tersebut didirikan oleh seorang Belanda bernama  Antonius Johanes Ludoficus Maria Zwijsen, seorang Polisi yang ditugaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta saat ini – red).

Setelah bebas tugas sebagai polisi,  Zwijsen  bekerja di Hotel Nederlande di kawasan Gondangdia, Batavia. Saat usahanya berkembang, Zwijsen membeli sebuah hotel di daerah Harmoni dan mengembangkan usahanya dengan mendirikan penginapan di pinggir Danau Lido.

Pada 1935, Zwijsen bertemu seorang putri perwira polisi dari bangsanya yang bertugas di Sukabumi, Catharina anna beemster. Mereka menikah pada 1937. Dikisahkan,  Cottage ini didedikasikan untuk Anna istri tercintanya. Foto – foto keluarga pasangan Zwijsen – Anna tergantung di dinding ruang tunggu Hotel Lido saat ini.

Zwijsen dan Anna kerap menghabiskan waktu mereka di penginapan ini. Mereka acap mengundang sanak saudara, kenalan, dan berpesta di pinggir Danau Lido.  Perang dunia membuat mereka harus melepaskan Lido. Pasukan Jepang masuk dan merusak Hotel Lido sebelum kemudian direbut oleh pejuang Indonesia. Akhirnya pada 1953  Anna dan anak-anaknya pulang ke Negeri Belanda. Dua tahun kemudian, Zwijsen menyusul.

Selain Ratu Kerajaan Belanda Wilhelmina yang pernah menginap di Cottage Danau Lido pada tahun 1940,  Presiden Soekarno juga kerap beristirahat di kawasan ini. Presiden Soekarno konon menulis salah satu bukunya yang terkenal “Sarinah” yang berisi tentang sosok  perempuan Indonesia yang diidamkannya itu di kawasan wisata Danau Lido. (Raden)

Sejarah

Ngabungbang, Warisan Leluhur Budaya Cimande

IMG-20151222-WA0003

BERIMBANG.COM, Bogor – Setiap memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, Desa Cimande, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat selalu dipadati oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah. Tradisi ziarah ini disebut “Ngabungbang”. Menurut beberapa sumber dikalangan tokoh masyarakat setempat, tradisi ini sudah berlangsung lebih dari 100 tahun.

KH Abdul Latief, salah satu tokoh masyarakat Cimande mengatakan, Ritual ziarah “Ngabungbang” adalah warisan budaya leluhur dari Kesepuhan Cimande.

Ritual ziarah tersebut berlangsung setiap memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, selama dua hari, yakni setiap tanggal 14 dan 15 bulan Maulid. Dahulu kala, ritual ziarah “Ngabungbang” dimanfaatkan para guru padepokan – padepokan Pencak Silat di Cimande sebagai moment untuk mematangkan tingkatan ilmu para muridnya.

“Hingga kini setiap tanggal 14 dan 15 bulan Mualid tradisi ziarah “Ngabungbang” masih terus dilaksanakan dan dilestarikan oleh para keturunan Cimande. Tapi tradisi para guru pencak silat yang seperti dulu saat ini semakin tidak terlihat”, kata KH Abdul Latief kepada berimbang.com, Selasa (22/12/15) siang.

Lebih lanjut, KH Abdul Latief menjelaskan, dalam tradisi ziarah “Ngabungbang”, ribuan peziarah mendatangi beberapa lokasi pemakaman kesepuhan Cimande. Diantaranya, makam Kesepuhan Eyang Sarean Kertasinga di Kampung Cikodok tidak jauh dari pertigaan kantor Desa Lemah Duhur, makam Mbah Ace dan Mbah Abdul Somad di Tarikolot, Mbah Rangga Wulung Tarikolot,  Mbah Angguh dan beberapa makam kasepuhan lainnya. Menurutnya, ritual “Ngabungbang” mulai ramai dikunjungi peziarah dari luar Cimande sekitar tahun 1950 – an hingga kini.  Ritual “Ngabungbang” juga merupakan waktu yang dianggap tepat untuk memandikan berbagai jenis benda pusaka peninggalan leluhur, bagi masyarakat yang meyakininya.

Saat dipadati peziarah, suasana di Kampung Cimande ramai dan tampak meriah. Suasana ramai ini terasa di sepanjang jalan raya Desa Cimande. Hampir semua warga membuka pintu rumahnya sejak siang hingga malam hari, karena banyak kedatangan tamu atau saudaranya yang berkunjung.

Hari puncak “Ngabungbang” pada 14  dan 15 Maulid, ramainya pengunjung menyebabkan jalan sejauh lima kilometer padat, hingga tidak dapat dilalui kendaraan, para peziarah pun harus rela berjalan kaki untuk sampai ke lokasi ziarah yang dikeramatkan.

Sebagai tokoh masyarakat Cimande yang juga selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia (Mui) Kecamatan Caringin, KH Abdul Latief menghimbau kepada para paziarah agar menjaga tata krama dan tidak salah dalam berniat ketika berada di peziarahan.

“Saya hanya mengingatkan saja, agar para peziarah tidak meminta segala sesuatu kepada makam, akan tetapi tetap berpegang teguh pada keyakinan dan kekuasaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa”, pungkasnya. (Raden)

Sejarah

Kematian Kennedy Dengan Penggalian Emas PT. Freeport Di Papua ?

freeport

BERIMBANG.COM – Presiden John F Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Kematian Kennedy masih menjadi misteri hingga saat ini. Dia adalah sahabat dekat Presiden Soekarno. Kematian Kennedy langsung mengubah peta politik dunia.

“Kennedy berpikiran progresif. Ketika aku membicarakan masalah bantuan kami, dia mengerti. Dia setuju. Seandainya Presiden Kennedy masih hidup tentu kedua negara tak akan berseberangan sejauh ini,” kata Soekarno menyesali tragedi ini dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams.

Sebagian pihak menilai pembunuhan Kennedy penuh nuansa politis. Apa hubungan Kennedy dengan penggalian emas PT Freeport?

Lisa Pease membeberkan hal itu dalam artikel berjudul ‘JFK, Indonesia, CIA, and Freeport’ di majalah Probe tahun 1996. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC.

Freeport ternyata sudah lama mengincar Papua. Tahun 1959, perusahaan Freeport Sulphur nyaris bangkrut karena tambang mereka di Kuba dinasionalisasi oleh Fidel Castro. Dalam artikel itu disebut berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.

Di tengah kondisi perusahaan yang terancam hancur itu pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur menemui Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.

Gruisen bercerita dirinya menemukan laporan penelitian di Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Disebutkan tembaga di gunung ini tak perlu susah-susah digali. Ibarat kata tinggal meraup, karena tembaga berada di atas tanah.

Wilson tertarik dan mulai mengadakan survei ke Papua. Dia setengah gila kegirangan karena menemukan gunung itu tak hanya berisi tembaga tapi emas! Ya, dia menemukan gunung emas di Papua.

Tahun 1960, suasana di Papua tegang. Soekarno berusaha merebut Papua dari Belanda lewat operasi militer yang diberi nama Trikora. Freeport yang mau menjalin kerjasama dengan Belanda lewat East Borneo Company pun belingsatan. Kalau Papua jatuh ke Indonesia bisa runyam urusannya. Mereka jelas tak mau kehilangan gunung emas itu.

Wilson disebutkan berusaha meminta bantuan John F Kennedy. Tapi si Presiden AS itu malah kelihatan mendukung Soekarno. John pula yang mengirimkan adiknya Bob Kennedy untuk menekan pemerintah Belanda agar tak mempertahankan Papua. JFK juga yang mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II, terpaksa menurut.

Agaknya Belanda pun tak tahu ada gunung emas di Papua sehingga mereka menurut saja disuruh mundur oleh AS.

Kontrak Freeport pun buyar. Apalagi Soekarno selalu menolak perusahaan asing menancapkan kaki mereka di Papua. Pada perusahaan minyak asing yang sudah kadung beroperasi di Riau, Soekarno meminta jatah 60 persen untuk rakyat Indonesia.

Kekesalan mereka bertambah, Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia.

Sebutir peluru menghentikan langkah Kennedy. Kebijakan pengganti Kennedy langsung bertolak belakang. Indonesia pun makin jauh dari AS dan semakin mesra dengan Blok Timur yang berbau komunis.

Tragedi September 1965 menghancurkan Soekarno. Dia yang keras menolak modal asing, digantikan Soeharto.

Setelah dilantik, Soeharto segera meneken pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freepot menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.

Ironisnya, pemerintah Indonesia hanya dapat jatah 1 persen. Kontras sekali dengan apa yang diperjuangkan Soekarno.

Kalau JFK dan Soekarno masih ada, tak akan ada Freeport di Papua.(mdk)