Erlangga Dan Bakri Group Diduga Harus Ikut Bertanggung Jawab Terkait Kerusakan Danau lido
BERIMBANG.COM, Bogor – Terkait Kerusakan Danau Lido yang berujung penyegelan oleh kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di Desa Wates Jaya Kecamatan Cigombong, dipastikan melibatkan banyak pihak. Pasalnya, Kawasan lido yang kini menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sejak 1990 hingga 2015 beberapa kali berganti pemilik. Hal ini diungkapkan Muhammad Azrin, Aktivis Mahasiswa yang juga Presiden Mahasiswa Universitas Binaniaga.
Menurut dia, hasil penelusuran dan kajian, kawasan Lido beberapa kali berganti pemilik, dari PT. Lido Nirwana Parahiangan, pindah ke PT. PAP dan PT. Pucion Plus yang diduga masuk kedalam Bakrie Group dan terakhir MNC Land. Bahkan ia mendesak Komisi XII DPR RI untuk segera memanggil Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto selaku Ketua Dewan Nasional KEK, terkait penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lido yang tidak dilengkapi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang sah. Dan perusahaan sebelumnya ikut bertaggung jawab terkait kerusakan danau lido.
“Berdasarkan temuan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), penetapan KEK Lido dilakukan tanpa memenuhi persyaratan lingkungan yang diwajibkan dalam regulasi. Hal ini bertentangan dengan Pasal 52 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan KEK, yang secara tegas menyatakan bahwa setiap kawasan yang ditetapkan sebagai KEK harus memiliki dokumen lingkungan yang sah sebagai syarat utama. Sementara Kerusakan tersebut, dimulai sejak kepemilikan lama, makannya dari data Citra satelit setiap tahun dapat dilihat sehingga mereka juga harus bertanggung jawab,” kata Azrin kepada media.
Muhammad Azrin Nahusy yang juga warga asli Cigombong menegaskan, bahwa tindakan ini merupakan bentuk pelanggaran hukum yang tidak bisa dibiarkan. selain itu pembiaran juga terlihat dari Citra satelit saat kepemilikan sebelumnya. Sehingga banyak pihak yang harus dilakukan pengusutan.
“Penetapan KEK Lido tanpa dokumen AMDAL lengkap bukan hanya kesalahan administratif, tetapi juga perbuatan melawan hukum yang dapat berdampak serius pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan berbasis aturan. Makanya, ini harus dibuka secara terang benderang, dilihat dari Hilir awal kerusakan,” ujar Azrin.
Ketidaksesuaian tersebut lajut dia, berpotensi menjerat Airlangga Hartarto dengan sanksi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 111 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal tersebut, setiap pejabat yang dengan sengaja menyetujui atau menerbitkan izin tanpa dokumen lingkungan yang sah dapat dikenakan sanksi administratif, pencabutan izin, hingga sanksi pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 3 miliar.
“Tindakan ini juga melanggar asas pemerintahan yang baik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pejabat yang mengeluarkan keputusan tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikenai sanksi berupa pembatalan keputusan hingga tuntutan hukum atas kerugian yang ditimbulkan,” tambanya.
Azrin juga menekankan, bahwa tanpa adanya kajian lingkungan yang komprehensif, proyek KEK Lido berpotensi menimbulkan dampak negatif yang luas, mulai dari kerusakan lingkungan, terganggunya ekosistem sekitar, hingga risiko bencana ekologis bagi masyarakat setempat.
“Kami tidak menolak pembangunan, tetapi pembangunan harus dilakukan dengan tata kelola yang benar, sesuai aturan yang berlaku. Jika pemerintah terus mengabaikan aspek lingkungan, maka rakyat yang akan menanggung akibatnya. Dan semua pihak yang terlibat sejak awal kepemilikan harus diungkap dan bertanggung jawab,” tegasnya.
(NA)