Berimbang.com – Bandung.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat menuai sorotan usai menetapkan batas maksimal jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) SMA/SMK negeri menjadi 50 siswa per kelas melalui Keputusan Gubernur Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025. Kebijakan ini diklaim untuk menekan angka putus sekolah. Namun, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai kebijakan tersebut tidak tepat sasaran.
Dalam laporan terbarunya, LPEM FEB UI menegaskan bahwa permasalahan utama bukan pada kapasitas total sekolah, melainkan pada ketimpangan spasial dan dominasi sekolah swasta, terutama di jenjang menengah atas. Data mereka menunjukkan sekitar 83 persen SMA dan SMK di Jabar dikelola oleh swasta, sementara proporsi sekolah negeri tergolong rendah di sebagian besar kabupaten/kota.
“Dominasi sekolah swasta ini memengaruhi keadilan akses pendidikan. Siswa dari keluarga kurang mampu berisiko terpinggirkan karena biaya sekolah swasta yang tinggi atau lokasi yang tidak terjangkau,” tulis laporan LPEM FEB UI, Senin (21/7).
Selain itu, kebijakan ini disebut menyimpang dari Permendikbudristek Nomor 47 Tahun 2023, terutama Pasal 8 ayat (2) huruf f, yang mengatur batas ideal jumlah siswa per rombel.
Sekolah Swasta Terancam, Efektivitas SMK Turun
LPEM FEB UI juga mengingatkan bahwa penambahan daya tampung sekolah negeri secara sepihak dapat memperburuk persaingan dengan sekolah swasta yang saat ini saja kesulitan menarik murid. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengancam keberlanjutan banyak sekolah swasta di Jabar.
Dari sisi teknis, LPEM menyebut karakteristik SMA dan SMK berbeda. Jika SMA cenderung homogen dan mampu menampung hingga 34 siswa per kelas, SMK membutuhkan pendekatan berbeda karena banyak mengandalkan pembelajaran praktik.
“Meningkatkan jumlah siswa SMK hingga 50 per kelas berpotensi menurunkan efektivitas pembelajaran, khususnya untuk pelajaran berbasis praktik,” ujar LPEM.
Fokus Seharusnya di Jenjang SMP
LPEM FEB UI menyarankan agar Pemprov Jabar memprioritaskan penambahan kapasitas pada jenjang SMP, bukan langsung di SMA/SMK. Pasalnya, jenjang SMP merupakan titik kritis dalam kesinambungan pendidikan.
“Jika bottleneck terjadi di SMP, maka intervensi di jenjang SMA/SMK akan sia-sia karena banyak siswa sudah tersisih sejak sebelumnya,” tegas laporan tersebut.
Dengan memperkuat akses ke jenjang SMP, pemerintah disebut bisa membangun fondasi pendidikan menengah yang lebih kuat dan inklusif, sehingga dampaknya jauh lebih merata dan berkelanjutan.
Red