Larang Study Tour, Dedi Mulyadi Dituding Bikin PO Bus di Depok Rugi dan PHK 50% Karyawan

Berimbangcom, Depok – Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang melarang kegiatan study tour di lingkungan sekolah menuai polemik. Salah satu dampaknya kini mulai terasa: Perusahaan Otobus (PO) pariwisata di Kota Depok terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap separuh karyawannya akibat anjloknya pendapatan.

Rachmat, pemilik PO Smindo Trans, mengungkapkan bahwa omzet perusahaannya turun drastis hingga 50 persen. Sebelum adanya larangan, armadanya bisa melayani perjalanan wisata sekolah hampir setiap hari dalam sebulan. Namun sejak kebijakan diberlakukan, jumlah hari operasional menurun signifikan.

“Biasanya kami bisa jalan 20 sampai 25 hari dalam sebulan. Sekarang maksimal hanya 15 hari, itu pun sebagian dari Jakarta, bukan Jabar,” ujar Rachmat, Kamis (24/7/2025).

Menurutnya, dampak paling berat adalah ancaman PHK massal. Saat ini, perusahaan tengah merencanakan pengurangan karyawan hingga 50 persen, meliputi divisi marketing, operasional, hingga sopir dan teknisi.

“Kami berusaha bertahan, tapi kondisi keuangan tidak bisa menutup biaya operasional. Apalagi modal kami dari pinjaman bank, yang sampai sekarang belum ada keringanan,” jelasnya.

Rachmat menilai, larangan total atas kegiatan study tour bukanlah langkah bijak. Ia menyarankan seharusnya sekolah diberi keleluasaan untuk memilih, bukan dipaksa untuk berhenti total.

“Kebijakan seperti ini tidak ramah terhadap pelaku usaha kecil. Mestinya bukan melarang, tapi memberi pilihan. Study tour, field trip, atau wisata edukasi itu kan juga bagian dari proses belajar,” tegasnya.

Kebijakan Dedi Mulyadi sebelumnya mendapat sorotan karena dinilai berangkat dari semangat efisiensi dan keselamatan siswa. Namun, pelaku usaha dan sebagian orang tua menilai larangan itu terlalu ekstrem dan berdampak domino terhadap sektor ekonomi, khususnya transportasi wisata.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Tak hanya di Depok, pengusaha bus di wilayah lain Jawa Barat disebut mengalami penurunan omzet serupa. Kondisi ini mengancam keberlangsungan usaha kecil-menengah yang bergerak di bidang transportasi pariwisata.

Rachmat berharap, pemerintah daerah bersedia membuka ruang dialog untuk mencari solusi win-win.

“Kami tidak ingin menentang, hanya ingin didengar. Kebijakan ini membuat kami terjepit antara aturan dan kebutuhan hidup,” pungkasnya.

Red