Sejarah

Ngabungbang, Warisan Leluhur Budaya Cimande

Spread the love

IMG-20151222-WA0003

BERIMBANG.COM, Bogor – Setiap memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, Desa Cimande, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat selalu dipadati oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah. Tradisi ziarah ini disebut “Ngabungbang”. Menurut beberapa sumber dikalangan tokoh masyarakat setempat, tradisi ini sudah berlangsung lebih dari 100 tahun.

KH Abdul Latief, salah satu tokoh masyarakat Cimande mengatakan, Ritual ziarah “Ngabungbang” adalah warisan budaya leluhur dari Kesepuhan Cimande.

Ritual ziarah tersebut berlangsung setiap memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, selama dua hari, yakni setiap tanggal 14 dan 15 bulan Maulid. Dahulu kala, ritual ziarah “Ngabungbang” dimanfaatkan para guru padepokan – padepokan Pencak Silat di Cimande sebagai moment untuk mematangkan tingkatan ilmu para muridnya.

“Hingga kini setiap tanggal 14 dan 15 bulan Mualid tradisi ziarah “Ngabungbang” masih terus dilaksanakan dan dilestarikan oleh para keturunan Cimande. Tapi tradisi para guru pencak silat yang seperti dulu saat ini semakin tidak terlihat”, kata KH Abdul Latief kepada berimbang.com, Selasa (22/12/15) siang.

Lebih lanjut, KH Abdul Latief menjelaskan, dalam tradisi ziarah “Ngabungbang”, ribuan peziarah mendatangi beberapa lokasi pemakaman kesepuhan Cimande. Diantaranya, makam Kesepuhan Eyang Sarean Kertasinga di Kampung Cikodok tidak jauh dari pertigaan kantor Desa Lemah Duhur, makam Mbah Ace dan Mbah Abdul Somad di Tarikolot, Mbah Rangga Wulung Tarikolot,  Mbah Angguh dan beberapa makam kasepuhan lainnya. Menurutnya, ritual “Ngabungbang” mulai ramai dikunjungi peziarah dari luar Cimande sekitar tahun 1950 – an hingga kini.  Ritual “Ngabungbang” juga merupakan waktu yang dianggap tepat untuk memandikan berbagai jenis benda pusaka peninggalan leluhur, bagi masyarakat yang meyakininya.

Saat dipadati peziarah, suasana di Kampung Cimande ramai dan tampak meriah. Suasana ramai ini terasa di sepanjang jalan raya Desa Cimande. Hampir semua warga membuka pintu rumahnya sejak siang hingga malam hari, karena banyak kedatangan tamu atau saudaranya yang berkunjung.

Hari puncak “Ngabungbang” pada 14  dan 15 Maulid, ramainya pengunjung menyebabkan jalan sejauh lima kilometer padat, hingga tidak dapat dilalui kendaraan, para peziarah pun harus rela berjalan kaki untuk sampai ke lokasi ziarah yang dikeramatkan.

Sebagai tokoh masyarakat Cimande yang juga selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia (Mui) Kecamatan Caringin, KH Abdul Latief menghimbau kepada para paziarah agar menjaga tata krama dan tidak salah dalam berniat ketika berada di peziarahan.

“Saya hanya mengingatkan saja, agar para peziarah tidak meminta segala sesuatu kepada makam, akan tetapi tetap berpegang teguh pada keyakinan dan kekuasaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa”, pungkasnya. (Raden)

Tinggalkan Balasan