Berimbang.com | Sabtu, 26 Juli 2025 – Jakarta
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto terus menuai sorotan publik. Dalam enam bulan pelaksanaan, sejumlah insiden keracunan massal hingga polemik keuangan dan pengawasan mutu mencuat, memicu perdebatan: apakah program ini masih layak dilanjutkan?
Rentetan Insiden Keracunan: Gagal Sistematis atau Kecelakaan Teknis?
Terbaru, puluhan siswa SMPN 8 Kupang, NTT, dilarikan ke rumah sakit usai mengonsumsi paket makan MBG. Gejala seperti mual, muntah, dan diare muncul setelah menyantap lauk rendang, tahu, sayur wortel-kacang panjang, dan pisang. Kasus serupa juga tercatat di Cianjur, Sukoharjo, Sumba Timur, dan Bombana.
Namun Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyebut keracunan tidak terjadi akibat menu hari kejadian, melainkan konsumsi sebelumnya. Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, hasil uji laboratorium BPOM belum diumumkan ke publik.
Ahli gizi dr. Tan Shot Yen menyebut keracunan bisa dicegah jika prinsip pengolahan makanan massal, seperti Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), diterapkan dengan disiplin. Ia menilai program dijalankan terburu-buru tanpa pelatihan teknis yang memadai. “Kalau belum siap, jangan korbankan anak-anak demi ambisi politik,” tegasnya.
Masalah Tata Kelola: Dapur Macet, Mitra Meradang
Program MBG juga menghadapi polemik antarmitra. Di Kalibata, dapur milik Ira Mesra terpaksa berhenti beroperasi akibat belum dibayar hampir Rp1 miliar oleh Yayasan Berkat Media Nusantara (MBN), mitra resmi BGN. BGN menolak bertanggung jawab, menyebut hal itu urusan internal.
Peneliti dari ICW, Dewi Anggraeni, mengkritik model pelaksanaan yang tidak memiliki garis komando yang jelas. “Daripada memicu kekacauan distribusi dan keuangan, lebih baik dihentikan saja,” ujarnya.
Kualitas Makanan dan Transparansi Anggaran Dipertanyakan
Awalnya, paket MBG dirancang senilai Rp15.000 per anak, lengkap dengan susu. Namun kini turun menjadi Rp10.000 dan susu tak lagi ditemukan. Penurunan kualitas pun menjadi keluhan banyak pihak.
Direktur Keadilan Fiskal Celios, Media Wahyu Askar, menyebut program ini lahir tanpa desain matang. “Kalau ingin berlanjut, perlu evaluasi besar-besaran: audit menyeluruh, transparansi anggaran, dan pelibatan masyarakat sipil.”
Evaluasi atau Hentikan?
Program makan gratis memang menjanjikan solusi atas masalah gizi anak bangsa. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya: krisis kepercayaan publik, rendahnya kualitas makanan, dan konflik antarmitra.
Kini, keputusan berada di tangan pemerintah: melanjutkan dengan reformasi total atau menghentikan demi keselamatan anak-anak Indonesia.***