Bogor

Buka OKK PWI Kota Bogor, Bima Arya: Wartawan dan Politisi Sama

Spread the love

BERIMBANG.comWali Kota Bogor Bima Arya membuka Orientasi Kewartawanan dan Keorganisasian (OKK) yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Bogor di Ballroom Hotel Bogor Valley, kemarin, Sabtu (31/10/2020).

Bima Arya menguraikan tentang politisi dan wartawan yang memiliki persamaan tantangan. bahwa politisi dan wartawan dibagi menjadi dua orientasi, yakni mata pencaharian dan pengabdian, dalam sambutannya.

“Tapi irisannya seringkali tidak hitam putih seperti itu. Ada pekerjaan yang orientasinya mata pencaharian, tetapi ada komponen pengabdian. Sebaliknya, ada juga yang sebetulnya semangatnya pengabdian, tapi muncullah mata pencaharian disitu,” ujar Bima.

Menurut Bima, ada tiga tantangan dan godaan utama yang kerap menghampiri politisi dan wartawan. “Pertama adalah tantangan untuk menjaga nurani. Politisi senior, founding father kita,”

“dan wartawan senior semuanya adalah orang-orang yang berhasil istiqomah menjaga nurani. Dari mulai kiprah awal sampai menutup mata, nuraninya betul-betul terjaga. Jauh dari pragmatisme,” kata Bima.

“Wartawan dan politisi sama. Godaannya adalah terjebak pada kepentingan owner. Kalau politisi, siapa ownernya, ya Ketum (Ketua Umum) partai. Kalau ketum partai bilang A padahal nurani kita B, maka kemudian nurani kita tergadaikan. Kepentingannya apa? Bisa kepentingan politik, bisa kepentingan bisnis.”

“Teman-teman wartawan juga begitu. Wartawannya idealis tapi kalau ownernya pragmatis disitulah pertarungannya. Makanya kemudian banyak politisi yang membangkang. Banyak wartawan yang keluar. Wartawan tidak mungkin membangkang, karena (kalau membangkang) dikeluarkan,” jelas Bima.

Kemudian, lanjut Bima, ada kesamaan lain dari politisi dan wartawan. Di mana, dahulu itu tidak mudah jadi politisi dan wartawan. “Karena semua tersortir oleh seleksi alam pengabdian tadi.”

“Hari ini menjadi politisi, ibarat kayak daftar kerja. Mau Pilkada, kumpulin modal, daftar, jadi politisi. Pencalegan, daftar, jadi politisi, padahal seumur-umur tidak pernah menyentuh politik, tetapi karena proses singkat, masuk dia jadi politisi,” terangnya.

“Sama wartawan juga begitu. Dulu tidak mudah, ada proses ini, proses itu, pelatihan, sertifikasi,  jadi kalau sudah melewati itu semua, teruji. Hari ini kan gampang.”

“Banyak juga yang ngaku pers, kalau jawabannya dari pers sudah tahu berarti ini abal-abal. Biasanya kalau wartawan ditanya langsung disebut medianya. Karena ada kebanggan korps tadi. Banyak yang instan sekarang ini, baik politisi maupun wartawan,” tandas Bima.

Tantangan yang kedua, lanjut Bima, menjaga akurasi dan presisi. “Politisi bisa asal ngomong, kemudian menjadi hoaks, memicu kerusuhan. Wartawan juga sama, dituntut deadline, harus setor berita sekian per hari, kejar setoran, dan akurasi nomor sekian. Ini tidak mudah.”

“Sekarang ini eranya post-truth. Apa itu? Ketika keyakinan mengalahkan kebenaran. Fakta dinomorduakan. Politisi dan wartawan itu sama. Kita ini diancam oleh kebangkitan sektarian, kebangkitan primordia, kebangkitan SARA. Tidak hanya di masa Pilkada, tapi di masa-masa biasanya juga begitu. Tidak ada presisi, tidak ada akurasi, terbawa oleh sentimen emosi,” ujar Bima.

Tantangan terakhir, menurut Bima, adalah bagaimana kita bisa melakukan inovasi. Karena di era sekarang, setiap orang yang memiliki smartphone seperti menjadi pemimpin redaksi melalui kanal sosial media mereka.

“Jadi netizen ini kreasinya, inovasinya luar biasa. Merambah semua kanal. Kalau teman-teman wartawan tidak mampu berkreasi dan berinovasi maka kita akan dimakan oleh arus mainstream hari ini. Politisi juga sama. Kalau pakem lama, model lama, komunikasi lama, gaya lama, copy paste APBD, business as usual, tidak bisa.”

“Jadi tantangan kita sama. Menjaga nurani, membangun akurasi dan melakukan inovasi,” kata Bima.

Menutup sambutan, Bima Arya memberikan saran kepada wartawan untuk menjadi pilar demokrasi, penguatan kapasitas, hingga membangun kesejahteraan. “Insya Allah Pemkot Bogor siap bersinergi selama berlandaskan nurani,” tandasnya.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua PWI Jawa Barat Tantan Sulton Bukhawan mengapresiasi keaktifan PWI Kota Bogor dalam menggelar berbagai agenda organisasi, salah satunya Orientasi Kewartawanan dan Keanggotaan (OKK) ini.

“OKK PWI memang sudah hampir jarang. Hanya beberapa daerah yang melakukan OKK. Ini untuk perbaikan organisasi, kita mencoba membenahi di internal organisasi dulu. Dan upaya-upaya baru untuk kita bisa mengembalikan marwah wartawan yang profesional. Setelah itu kita mulai bangkit lagi dengan kegiatan-kegiatan yang ada,” ujar Tantan.

Menurut Tantan, PWI mempunyai peran penting bagi identitas wartawan Indonesia saat ini. “Tadi sempat ngobrol sama Kang Ari (Ketua PWI Kota Bogor Arietha Surbakti). Bahwa PWI sempat masuk dalam masa PWI yang ‘kucel’. Orang hanya tau wartawan itu PWI.”

“Sementara dengan identitas PWI-nya, kadang-kadang disalahgunakan. Ada juga yang mengaku anggota PWI, tapi mereka tidak mau bangga dengan identitas asal media dia bekerja dimana. Dan PWI selalu dijadikan tameng,” terang Tantan.

“Ini mungkin menjadi tanggung jawab besar teman-teman calon anggota PWI, untuk menjadi wartawan yang baik, wartawan yang mempunyai idealisme, untuk menjadi wartawan pilar demokrasi tentunya kita harus mengetahui apa yang menjadi dasar kita sebagai jurnalis, yang pertama adalah kode etik,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua PWI Kota Bogor Arihta Utama Surbakti mengungkapkan bahwa OKK di Kota Bogor baru lagi digelar, sejak 3 periode ketua sebelumnya.

“Alhamdulillah kita tetap bisa menggelar, itu semua berkat support Pemkot Bogor juga. Salut untuk calon anggota PWI. PWI Kota Bogor sebelumnya sempat mengalami masa suram, tapi itulah kondisinya. Di mana secara organisasi, ibarat kopi tinggal ampas saja,”

“Alhamdulillah ketika saya berprinsip bagaimana ini supaya terisi kembali, harus diisi air bersih secara terus menerus. Dan teman-teman yang menjadi peserta OKK adalah air bersih yang akan membersihkan PWI ke depan,” pungkasnya.

(prokompim)